Tunisia Larang Mahasiswa Kenakan Keffiyeh Palestina di Dalam Ruang Ujian
Kementerian Pendidikan Tunisia melarang mahasiswa mengenakan Keffiyeh di dalam ruang ujian pada 5-12 Juni 2024 besok.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Pendidikan Tunisia melarang mahasiswanya mengenakan keffiyeh di dalam ruang ujian.
Alasannya tak lain karena pihak kampus khawatir penggunaan keffiyeh dapat mempengaruhi perilaku para mahasiswa.
Sebagaimana diketahui, keffiyeh merupakan syal bermotif kotak-kotak berwarna hitam-putih yang melambangkan perjuangan Palestina.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada hari Minggu (2/6/2024), mahasiswa dilarang mengenakan Keffiyeh atau bentuk pakaian lainnya yang serupa selama ujian tengah semester, yang digelar pada 5-12 Juni 2024 besok.
"Dilarang mengenakan Keffiyeh Palestina atau bentuk pakaian lainnya yang mempengaruhi perilaku calon sarjana muda di dalam ruang ujian," bunyi pernyataan itu, dikutip dari Middle East Eye.
“Kementerian tidak akan segan-segan menerapkan hukuman untuk menjaga integritas institusi pendidikan kita,” terang pernyataan tersebut.
Kementerian juga mengutuk upaya "beberapa pihak yang mengambil keuntungan dari kepentingan (Palestina) untuk menabur kekacauan selama ujian nasional atau melakukan pelanggaran tersembunyi.
Juga menyatakan bahwa tindakan tersebut akan "ditangani sesuai dengan hukum".
Siaran pers tersebut juga menegaskan kembali dukungan Tunisia terhadap perjuangan Palestina.
Tunisia telah dilanda krisis politik dan ekonomi sejak tahun 2021.
Saat itu Presiden Kais Saied secara sepihak menangguhkan parlemen dan membubarkan pemerintah dalam apa yang oleh banyak orang disebut sebagai “kudeta konstitusional”.
Baca juga: Bella Hadid Tunjukkan Solidaritas untuk Palestina, Kenakan Gaun Keffiyeh ke Cannes
Presiden kemudian memerintah melalui dekrit, mendorong konstitusi baru yang menegaskan pemerintahan tunggalnya.
Sejak itu, negara telah menindak para kritikus, menangkap para pemimpin oposisi, aktivis politik, hakim dan pengacara atas tuduhan berkonspirasi melawan keamanan nasional.
Amnesty International menggambarkan tindakan keras tersebut sebagai "perburuan penyihir yang bermotif politik".
Meskipun negara tersebut tidak mengikuti langkah beberapa negara tetangga Arab dalam mengakui Israel, pemerintahnya terkadang menindak tokoh-tokoh pro-Palestina.
Pada bulan Januari, Tunisia menerapkan larangan perjalanan terhadap pengacara Chawki Tabib, yang merupakan bagian dari tim yang mewakili Asosiasi Pengacara Palestina dalam kasus genosida Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ).
Asosiasi Pengacara Palestina menunjuk pengacara Tunisia tersebut sebagai perwakilan hukum di antara tim pengacara yang lebih luas yang mendukung kasus Afrika Selatan.
Tabib dijadwalkan menghadiri pertemuan persiapan di Kuwait pada awal Januari namun dilarang meninggalkan negara tersebut.
Tunisia memutuskan semua hubungan diplomatik dengan Israel pada tanggal 22 Oktober 2000.
Keputusan itu merupakan reaksi terhadap penindasan Intifada Palestina kedua dan kunjungan kontroversial mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke kompleks Masjid Al-Aqsa pada bulan September 2000.
Pemerintah Tunisia menutup kedutaan Israel di Tunis dan mengusir staf diplomatik Israel. Sejak itu, hubungan diplomatik resmi antara Tunisia dan Israel belum pulih.
Sejak tahun 2011, para anggota parlemen telah mencoba, namun tidak berhasil, untuk mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi rencana normalisasi hubungan dengan Israel.
Palestina masih menjadi isu penting di negara ini.
Tunis adalah markas besar Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) antara tahun 1982 dan 1994, dan beberapa serangan Israel telah terjadi di wilayah Tunisia.
Sejak dimulainya perang Israel di Gaza pada Oktober 2023, banyak demonstrasi telah terjadi di seluruh Tunisia untuk menyatakan dukungan terhadap Palestina.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)