Bayang-bayang Ancaman Perang Asia: Taiwan Deteksi 41 Pesawat Militer China dan 7 Kapal AL Bermanuver
Kementerian Pertahanan Taiwan mendeteksi 41 pesawat militer China bermanuver di kawasan udara Taiwan selama waktu 24 jam
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, TAIPEI – Kawasan Asia terutama bagian timur dan tenggara terancam perang setelah Kementerian Pertahanan Taiwan melaporkan bahwa pihak mendeteksi 41 pesawat militer China bermanuver di kawasan udara Taiwan selama waktu 24 jam terakhir.
“Kami mendeteksi 41 pesawat militer China dan tujuh kapal angkatan laut yang beroperasi di sekitar Taiwan selama periode 24 jam hingga pukul 06.00 pagi,” tegas Kementerian Pertahanan Taiwan, Minggu(23/6/2024).
Melansir dari Barrons, pengepungan ini dilakukan sehari setelah Beijing mengatakan para pendukung kemerdekaan Taiwan dapat menghadapi hukuman mati.
Baca juga: AS Ungkap China Bisa Caplok Taiwan Tanpa Lakukan Invasi Militer, Begini Caranya
Meski aksi manuver 41 pesawat tempur China tak menyebabkan korban jiwa, namun untuk mencegah manuver serupa Kementerian Pertahanan Taiwan menjelaskan bahwa pihaknya telah memantau situasi dan memberikan tanggapan yang sesuai.
Pengerahan pesawat dan kapal militer bukan kali pertama yang dilakukan China, sejak beberapa waktu terakhir negara tirai bambu ini semakin intensif menyiagakan jet tempur di Selat Taiwan. Salah satunya pada 25 Mei lalu ketika sebanyak 62 pesawat militer China terdeteksi mengudara di sekitar Taiwan dalam periode 24 jam. Angka itu tercatat sebagai jumlah tertinggi dalam sehari untuk pengerahan pesawat militer Beijing
ke dekat Taipei sepanjang tahun ini.
Aksi ini merupakan bentuk gertakan China atas pelantikan Presiden baru Taiwan Lai Ching-Te yang dianggap sebagai tindakan “separatis” lantaran pelantikan itu menentang interaksi resmi antara wilayah Taiwan di China.
China mengklaim Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya yang harus kembali diintegrasikan ke dalam Republik Rakyat China.
Bahkan Presiden Xi Jinping sempat menuturkan bahwa pemerintahannya berkomitmen untuk mencapai reunifikasi dengan Taiwan yang telah terpecah dalam perang sipil pada tahun 1949 silam.
Akan tetapi Taiwan berpegang pada klaim kedaulatannya sebagai negara merdeka dengan identitas nasional tersendiri. Alasan ini yang membuat China murka hingga nekat mengepung Taiwan dengan kapal perang dan jet tempur.
Lembaga pemikir Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Washington, Amerika Serikat memprediksi pemerintahaan China telah menyiapkan skenario selain invasi atau blokade militer untuk mempercepat reunifikasi Taiwan.
Cara yang akan diambil China yakni metode karantina taktik zona abu-abu yang memungkinkan pasukan penjaga pantai China yang disebut sebagai milisi maritim, dan berbagai polisi serta badan keamanan maritim dapat memulai karantina penuh atau di sebagian di Taiwan.
Baca juga: 41 Pesawat Militer China Kepung Taiwan, Perang Asia Terancam Pecah
Karantina tersebut kemungkinan akan memutus akses ke pelabuhan-pelabuhan Taiwan dan menghentikan pasokan penting, seperti energi untuk menjangkau 23 juta penduduk pulau itu.
Selain itu langkah baru China diyakini akan membuat negara seperti Amerika Serikat (AS), dan negara demokrasi lain kesulitan membantu Taiwan menghadapi perlawanan yang dilakukan pemerintah Beijing.
Apabila kapal atau pesawat militer AS nekat melakukan intervensi untuk melindungi Taiwan maka AS dapat dianggap memulai permusuhan militer.
“Karantina adalah operasi yang dipimpin oleh penegakan hukum untuk mengendalikan lalu lintas maritim atau udara di wilayah tertentu, sementara blokade bersifat militer,” kata laporan CSIS.
“Langkah ini akan menempatkan AS pada posisi yang sulit,” tambah laporan itu.
Latihan Perang
Pejabat senior Taiwan mengatakan bahwa pihaknya menggelar latihan perang dengan meniru pertempuran semirip mungkin. Jadi, latihan perang tahun ini digelar tak hanya menampilkan pertunjukkan simulasi perang dengan mencetak poin tapi pertempurannya seperti nyata.
Baca juga: Perang di Gaza dan Ukraina Belum Reda, Korea Utara-Selatan dan China-Taiwan Kini Mulai Bersitegang
Hal itu dilakukan karena ada ancaman dari China. Atau China memandang Taiwan yang diperintah secara demokratis sebagai wilayahnya, telah melakukan latihan rutin.
Yakni di sekitar pulau itu selama empat tahun untuk menekan Taipei agar menerima klaim kedaulatan Beijing, meskipun ada keberatan keras dari Taiwan.
Taiwan memulai latihan Han Kuang selama lima hari pada 22 Juni 2024. Seorang pejabat senior pertahanan Taiwan, yang enggan disebutkan namanya mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk memikirkan kembali bagaimana latihan tersebut dilakukan.
"Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman musuh telah berubah dengan cepat," kata pejabat itu, dikutip dari Reuters.
"Rencana tempur pertahanan kami juga harus terus direvisi secara bergiliran, dan urgensi pelatihan tempur komprehensif menjadi semakin penting," jelasnya.
Elemen yang sebagian besar hanya untuk pertunjukan, seperti latihan, telah dibatalkan, sementara tahun ini akan ada latihan malam hari dan yang tidak biasa, ibu kota Taipei juga akan disertakan, kata pejabat tersebut.
"Ini bukan tentang mencetak poin. Kami ingin para prajurit bertanya-tanya apakah ini nyata," kata ofisial itu.
Mungkin ada yang tidak beres, seperti kerusakan kendaraan, dan itu tidak masalah, tambah pejabat itu.
"Ini adalah masalah yang mungkin dihadapi dalam pertempuran sebenarnya," jelas dia.
Kementerian Pertahanan China tidak menjawab panggilan untuk meminta komentar mengenai latihan di luar jam kantor pada akhir pekan.
Baca juga: Ancaman Baru dari Tiongkok: Beijing Berambisi Hapus Taiwan
Sebelumnya mereka mengatakan bahwa sia-sia bagi Taiwan untuk berpikir bahwa mereka dapat menggunakan senjata mencegah reunifikasi.
Saat mengumumkan latihan tersebut pada April, Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan bahwa latihan perang tersebut akan melatih zona “pembunuh” di laut.
Yakni untuk mematahkan blokade dan mensimulasikan skenario di mana China tiba-tiba mengubah salah satu latihan regulernya di sekitar pulau itu menjadi sebuah serangan.
Posisi Indonesia
Merespon panasnya situasi antara China dan Taiwan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa posisi Indonesia tetap menganut 'One China Policy" atau Kebijakan Satu China.
"Saya sampaikan juga kepada Wang Yi(Menteri Luar Negeri China), Indonesia tetap pada posisi 'One China Policy" dan saya kira menjadi konsistensi dari kebijakan luar negeri kita," kata Luhut.
One China Policy merupakan kebijakan yang menyatakan China merupakan pemerintah resmi dari China daratan, Hong Kong, Makau, dan Taiwan.
Dengan demikian, tidak mengakui Taiwan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Menurut Luhut, hal tersebut perlu ditegaskan oleh Indonesia guna memperjelas posisi Indonesia bagi China di tengah potensi konflik yang terjadi dengan Taiwan.
"Memang betul saya katakan tadi, saya belum melihat akan ada potensi perang terbuka antara China dan Taiwan, tetapi ketegangan itu pasti akan ada pengaruhnya," ujar Luhut.
Baca juga: AS-Cina Cari Cara Tangani Risiko di Tengah Ketegangan Taiwan
Selain potensi konflik geopolitik yang terjadi antara Taiwan dan China, Luhut juga menyoroti kemungkinan gejolak geopolitik lainnya, seperti dampak dari pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat yang akan berlangsung pada 5 November 2024.
Terdapat dua calon presiden yang diduga akan melaju dalam pilpres tersebut, yakni Joe Biden dan Donald Trump. Luhut menjelaskan pentingnya membaca situasi geopolitik China dan Amerika Serikat dikarenakan kedua negara tersebut merupakan bagian dari tiga kekuatan dunia yang memengaruhi perdagangan global.
Selain China dan Amerika Serikat, terdapat Eropa yang juga kondisi geopolitiknya harus diantisipasi.
"Faktor geopolitik yang memengaruhi perdagangan global ini, sebenarnya ada tiga kekuatan besar kalau saya katakan, ada China, Amerika (Serikat), dan Uni Eropa," kata Luhut. (Tribun Network/barrons/reuters/nam/wly)