Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
BBC

Dekan FK Unair dipecat dan alasan tersembunyi di baliknya - Seberapa mendesak Indonesia membutuhkan dokter asing?

Polemik pemberhentian Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Prof Budi Santoso, terus bergulir. Ada dugaan dia dipecat…

zoom-in Dekan FK Unair dipecat dan alasan tersembunyi di baliknya - Seberapa mendesak Indonesia membutuhkan dokter asing?
BBC Indonesia
Dekan FK Unair dipecat dan alasan tersembunyi di baliknya - Seberapa mendesak Indonesia membutuhkan dokter asing? 

Dari total dokter yang ada, 160.000 di antaranya berada di wilayah Indonesia bagian barat.

Penyebaran yang timpang tersebut, ungkap Diah, disebabkan karena banyak dokter memilih untuk tidak kembali ke daerahnya setelah merampungkan pendidikan dan peralatan yang memadai kebanyakan ada di kota-kota besar.

"Karena pasien banyak ke kota besar dan peralatannya adanya di kota besar. Itu yang menyebabkan produksi dan distribusinya kurang serta tidak merata."

"Kalau misalnya dokter kembali ke daerahnya, utilitasnya jadi enggak benar, karena tidak ada alat. Si dokter spesialis jadinya mengerjakan hal di bawah kompetensinya. Itu yang terjadi sekarang."

Namun, menurutnya, kekurangan itu bisa diperbaiki jika distribusinya dibenahi.

IDI: Dokter asing semestinya jadi jalan terakhir

Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, sependapat.

Kalau memakai hitungan versi WHO, kata dia, Indonesia disebut kekurangan dokter. Tetapi jika bersandar pada perhitungan IDI sesungguhnya "sudah kelebihan dokter umum."

BERITA REKOMENDASI

Sekarang apabila pemerintah ingin menambah dokter, menurutnya, ada beberapa cara yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum memanfaatkan dokter asing.

Pertama, mengangkat 60% dokter umum yang baru lulus pendidikan menjadi pegawai negeri dan ditempatkan di berbagai layanan kesehatan semisal 500-an puskesmas yang disebut Menkes Budi Gunadi tidak memiliki dokter.

"Saat ini cuma 18-20% yang diangkat [menjadi pegawai], sementara negara butuh, tapi yang diangkat sedikit."

"Kalau pemerintah peduli, tinggal angkat saja dokter baru lulus itu, dikasih insentif sebagai pegawai negeri, habis itu kariernya dijamin, selesai masalah."

"Tapi itu enggak dilakukan."

Kedua, memberikan insentif yang cukup bagi dokter spesialis yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Bahkan kalau perlu lima kali lipat dari dokter yang bertugas di kota besar.

Ia juga menilai pemerintah perlu menyontek sistem kerja dokter di daerah terpencil seperti yang diterapkan perusahaan offshore atau tambang.

"Sistem kerja di sana, tiga minggu kerja, dua minggu libur. Jadi keluarga enggak perlu diboyong. Ini kan dokter bertugas ke daerah terpencil ikut semua istri dan anak-anaknya. Jadi ruwet karena mikirin keluarga."

Ketiga, pemerintah bisa manfaatkan skema ikatan dinas kepada putra-putri daerah agar mereka bisa langsung diangkat menjadi pegawai dan bersedia ditempatkan di daerah masing-masing.

Dan jika mereka ingin menempuh pendidikan dokter spesialis, pemerintah siap menanggung biayanya.

Namun demikian, apabila ketiga hal tersebut sudah diupayakan dan masih ada dokter yang tidak berminat, maka pemerintah masih punya pilihan untuk memanggil dokter diaspora Indonesia yang berada di luar negeri.

Kalau tetap tidak ada yang bersedia, maka jalan terakhir mendatangkan dokter asing.

"Dengan catatan ya, semua itu sudah dilakukan, tapi tetap enggak minat, apa boleh buat," jelasnya. "Cuma pemerintah kan kepengennya instan."

Yang pasti, sebutnya, selama berpuluh tahun IDI selau menerima jika ada kerja sama seperti "operasi bersama dengan dokter asing untuk keperluan transfer ilmu maupun teknologi".

Sama halnya seperti CISDI, kini dia meminta pemerintah merampungkan terlebih dahulu aturan turunan dari UU Kesehatan yang mengatur soal dokter asing.

Ia pun berharap Kemenkes mengajak IDI berdiskusi membahas aturan tersebut. Sebab sampai sekarang tidak ada ajakan untuk berdialog.

"[IDI] tidak pernah diajak diskusi soal penyusunan peraturan pemerintah. Padahal IDI adalah stake holder terbesar kesehatan yang mempunyai 230.000 anggota dokter," ujarnya.

Apa sikap Kemenkes?

Kendati dikritik berbagai kalangan, Kementerian Kesehatan nampaknya akan terus melancarkan rencana agar dokter asing bisa masuk ke Indonesia.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan kebijakan ini merupakan "upaya percepatan untuk masyarakat mendapatkan layanan".

Sebab, klaimnya, secara penghitungan rasio satu dokter bisa melayani 1.000 orang, ditambah luas geografis seperti di Kalimantan atau Papua, maka mustahil hal itu tercapai dalam waktu dekat.

"Apalagi layanan spesialis seperti pengobatan jantung bawaan, mau kemoterapi yang di Sumatra Utara saja harus rujuk ke Jakarta untuk kasus-kasus complicated atau sedang berat dan ini harus antre," ujar Nadia kepada BBC News Indonesia.

Nadia juga bilang rancangan peraturan pemerintah hampir rampung, dan masih memerlukan sedikit lagi pembahasan.

Kemenkes menargerkan peraturan pemerintah soal dokter asing ini akan selesai pada awal Agustus mendatang sehingga bisa langsung ditetapkan dan berlaku.

"Ini kan pembahasan antar-lembaga dan kementerian masih [berlangsung], jadi bukan hanya Kemenkes."

Sumber: BBC Indonesia
BBC
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas