Warga Palestina Derita Krisis Kesehatan Mental Sangat Parah akibat Perang Israel-Hamas
Program Kesehatan Mental Masyarakat Gaza (GCMHP) menyebutkan bahwa warga Palestina menderita krisis kesehatan mental akibat perang Israel-Hamas.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Endra Kurniawan
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah laporan yang diterbitkan Program Kesehatan Mental Masyarakat Gaza (GCMHP) pada hari Selasa (16/7/2024), disebutkan warga Palestina menderita krisis kesehatan mental sangat parah akibat perang Israel-Hamas.
LSM tersebut menemukan tingkat gangguan kesehatan mental yang “sangat tinggi” di kalangan warga Palestina di Gaza, khususnya pada perempuan dan anak-anak.
"Perang Israel yang sedang berlangsung di wilayah kantong tersebut telah menghasilkan krisis kesehatan mental yang belum pernah terjadi sebelumnya," ungkap GCMHP.
Bahkan krisis kesehatan mental ini bisa berlangsung hingga “generasi mendatang”, Middle East Eye melaporkan.
Laporan tersebut mendapati bahwa anak-anak Gaza hidup dalam kondisi tragisi yang tiada akhir.
Banyak dari mereka menderita insomnia, berjalan sambil tidur, teror di malam hari, gemetar terus-menerus, dan mengompol.
Seorang ayah menuturkan kepada GCMHP bahwa salah satu anaknya mengompol saat mendengar suara pesawat tempur dan pesawat tak berawak terbang di atas kepala.
Beberapa anak mengalami gangguan kesehatan mental yang serius.
Seorang anak berusia 13 tahun yang disebutkan dalam laporan tersebut menderita halusinasi visual dan pendengaran.
Meningkatnya tingkat penderitaan penduduk Gaza telah menyebabkan lonjakan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam sebuah wawancara, seorang wanita mengatakan bahwa dia terus "membayangkan mayat", dan mengingat tubuh putranya dengan isi perutnya yang keluar.
Baca juga: Sekjek Hizbullah: Untuk Pertama Kali Setelah 10 Bulan Perang Gaza, Israel Tidak Berdaya
Traumanya terwujud dalam bentuk kegugupan dan agresi, yang mendorongnya untuk berteriak dan memukul putranya tanpa alasan.
Para dokter melaporkan tingginya tingkat ketidakberdayaan dan keputusasaan di antara banyak orang yang mereka ajak bicara, yang akibatnya berhenti mengurus diri sendiri atau bermain dengan anak-anak mereka.
Mereka juga menemukan prevalensi “trauma kompleks”, yang terwujud dalam bentuk penyangkalan dan isolasi sosial, berakibat beberapa orang kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan diri.