Bagaimana Drone Houthi Bisa Capai Israel, Tempuh 2.600 Km, Lewati Sudan-Mesir, dan Kagetkan Israel?
Drone milik Houthi terbang menempuh jarak 2.600 km, melewati Eritrea, Sudan, Mesir, dan Sinai.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM – Israel dikagetkan oleh drone atau pesawat nirawak milik kelompok Houthi di Yaman yang berhasil menembus pertahanan udara dan masuk ke Ibu Kota Israel, Tel Aviv.
Pada hari Jumat, (19/7/2024), pesawat itu meledak. Satu orang dilaporkan tewas dan beberapa orang terluka.
Israel kemudian melancarkan serangan balasan yang menargetkan Kota Hodeidah, Yaman, dengan puluhan jet tempur.
Salah satu yang menjadi sorotan utama dalam serangan Houthi di Tel Aviv ialah kegagalan sistem radar dalam mengadang pesawat itu.
Dikutip dari media Israel bernama Haaretz, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa suksesnya pesawat nirawak Houthi menembus sistem pertahanan disebabkan oleh human error atau kesalahan manusia di unit kendali lalu lintas udara.
Militer Israel menyebut pesawat berpeledak itu diluncurkan dari Yaman dan menempuh jarak 2.600 km sebelum sampai di Tel Aviv.
Dengan bantuan Iran, Houthi diduga memutakhirkan mesin pesawat itu meski harus mengurangi peledak yang bisa dibawanya. Pemutakhiran itu memungkinkan drone tersebut bisa menempuh jarak yang sangat jauh.
Hal yang menarik ialah pesawat itu bahkan tidak dilengkapi dengan stealth capability atau kemampuan siluman.
Pesawat diduga terbang selama 16 jam dengan kecepatan 80 hingga 100 knot dan melewati langit Eritrea, Sudan, Mesir, Semenanjung Sinai, dan perairan teritorial Israel.
Sistem pendeteksi milik Angkatan Udara Israel sebenarnya sudah mendeteksi pesawat itu saat terbang di atas lautan.
Pesawat itu tampak di layar selama enam menit. Namun, ia tak kunjung ditembak jatuh.
Baca juga: Houthi Diklaim Beri Joe Biden Kekalahan Besar di Penghujung Jabatannya, Operasi Militer AS Gagal
Militer Israel menyebut anggota unit kendali udaranya mengetahui pesawat itu, tetapi tidak menandainya sebagai target.
Oleh karena itu, militer Israel tidak sadar bahwa pesawat itu tengah menuju Israel dan tidak mengaktifkan sirine peringatan.
Kemudian, militer Israel mengklaim bahwa semua sistem kendali udara dan sistem pertahanan udara memiliki “celah”. Di samping itu, tidak ada sistem yang bisa dijamin sukses 100 persen.
Militer Israel terlihat lebih lama merespons kemunculan drone daripada kemunculan roket dan rudal.
Selepas serangan Houthi, Angkatan Udara Israel menguatkan sistem kendali dan identifikasi guna mencegah peristiwa serupa terjadi.
Di beberapa unit, proses pengambilan keputusan juga diubah. Kini dibutuhkan lebih dari satu orang untuk membuat keputusan final.
Di samping itu, Angkatan Udara Israel juga meningkatkan frekuensi misi patroli udara yang bertujuan untuk mendeteksi dan menembak jatuh benda misterius di dekat Kota Eilat.
Militer Israel kini mulai melengkapi diri dengan sistem pertahanan udara yang menggabungkan radar dengan meriam Vulcan.
Menurut militer Israel, sistem ini mungkin jauh lebih baik dalam menembak jatuh pesawat nirawak.
Sistem ini juga diklaim jauh lebih murah daripada sistem pertahanan udara Iron Dome.
Lebih dari seribu drone ditembakkan
Baca juga: Israel dan Houthi di Ambang Perang Besar, Ini Perbandingan Kekuatan Militer Israel dan Yaman
Sejak perang di Gaza meletus, sudah ada lebih dari 1.000 drone yang ditembakkan ke Israel dari berbagai penjuru.
Houthi akhirnya berhasil menembus sistem pertahanan udara setelah meluncurkan lebih dari 300 drone sejak Oktober 2023.
Keberhasilan Houthi itu memicu kekhawatiran di antara pejabat militer Israel. Hal tersebut memicu Israel untuk melancarkan serangan terbuka ke Yaman dan langsung mengaku berada di baliknya.
Serangan Israel ke Hodeidah, Yaman, pada Sabtu lalu menjadi serangan terjauh yang dilakukan militer Israel dari segi jarak terbang.
Jet-jet Israel menempuh jarak sekitar 1.800 km guna melancarkan serangan itu.
Kemenangan simbolis Houthi dan kegagalan AS
Seorang pakar sejarah Timur Tengah bernama Ibrahim Al-Marashi menyebut serangan Houthi ke Israel sebagai kemenangan simbolis.
Hal itu karena Houthi berhasil menembus wilayah Israel, menghindari sistem pertahanan udara Israel, dan menimbulkan kerusakan untuk pertama kalinya sejak perang di Jalur Gaza meletus.
Kesuksesan itu mengharumkan nama Houthi, tidak hanya di Yaman, tetapi juga di Asia Barat.
Menurut Al-Marashi yang menjadi associate professor di California State University San Marcos, keputusan Israel untuk melancarkan serangan balasan yang menargetkan infrastruktur sipil adalah tanda bahwa ketegangan di kawasan Laut Merah bisa memuncak hingga menjadi perang besar.
Sementara itu, saat Houthi bisa merayakan keberhasilannya, Amerika Serikat (AS) justru didera kegagalan besar.
Operasi militer AS dan negara Barat lainnya dalam melawan Houthi belum membuahkan hasil besar.
Bahkan, operasi itu menelan biaya yang amat besar. Sebagai contoh, sejak Januari 2024 AS meluncurkan banyak rudal yang biayanya masing-masing mencapai $1 juta hingga $4,3 juta.
Tingginya biaya itu membuat Jack Reed, salah satu senator AS, menegur Biden pada bulan yang sama.
Hingga saat ini AS dilaporkan sudah kehilangan setidaknya tiga pesawat nirawak jenis Reaper yang harganya masing-masing mencapai $30 juta atau hampir setengah triliun rupiah.
Sementara itu, Biden sendiri mengakui bahwa serangan terhadap Houthi tidak membuahkan hasil. Akan tetapi, dia menolak menghentikan operasi itu.
Dia juga menolak untuk menggunakan cara yang paling efektif untuk menghentikan Houthi, yakni menekan Israel agar mengakhiri perang di Gaza.
Houthi sudah berulang kali menegaskan baru akan berhenti menyerang jika gencatan senjata di Gaza terwujud.
Namun, kata Al-Marashi, AS justru mengizinkan Israel melanjutkan kejahatan di Gaza. Pakar itu menyebut Biden akan tercatat dalam sejarah sebagai Presiden AS yang menimbulkan salah satu krisis terparah di Timur Tengah.
(Tribunnews/Febri)