'Sebanyak 12 dari 16 atlet Korut adalah perempuan' - Korea Utara bertumpu pada kekuatan atlet perempuan di Olimpiade Paris
Kontingen Korea Utara memboyong 16 atlet dalam Olimpiade Paris 2024; 12 di antara mereka adalah perempuan.
Olimpiade adalah ajang para atlet dari seluruh dunia memamerkan aksi mereka setelah latihan keras selama bertahun-tahun.
Secara khusus, Olimpiade Paris 2024 mendorong kesetaraan gender, dengan rasio peserta pria dan perempuan mendekati 50:50.
Namun jika melihat rasio gender atletnya, kontingen Korea Utara tampak menonjol.
Dalam Olimpiade Paris 2024, Korut memboyong 16 atlet; 12 di antara mereka adalah perempuan.
Pada 31 Juli lalu, Kim Mirae dan Jo Jin-mi dari Korea Utara meraih medali perak di nomor loncat indah putri 10 meter. Ini merupakan pertama kalinya Korea Utara meraih medali di cabang olahraga loncat indah.
Sebelumnya, Kim Kum-yong dan Ri Jeong-sik memboyong medali perak di nomor ganda campuran cabang olahraga tenis meja.
Banyak atlet yang masuk dalam daftar "10 pemain terbaik 2023" versi media pemerintah Korea Utara awal tahun ini adalah atlet perempuan.
Tentu saja jumlah atlet Korut yang tampil tidak banyak dibandingkan negara-negara besar, namun belakangan ini atlet perempuan Korea Utara cukup aktif di kancah olahraga internasional.
'Membangun kekuatan olahraga'
Pakar Korea Utara mengatakan para atlet Korea Utara di masa lalu telah menekankan pentingnya olahraga bagi "semua orang" tanpa memandang gender.
Mahasiswa Korea Utara, Lee Na-young, menjelaskan kepada BBC Korea bahwa "karena tujuan olahraga sosialis adalah untuk 'manusia sosialis' maka dengan tubuh kuat bisa berkontribusi pada tenaga kerja dan pertahanan sosial. Jadi tidak hanya Korea Utara tapi bekas Uni Soviet dan China telah melakukannya, merancang kebijakan olahraga mereka seperti ini."
Lee yang membuka toko buku khusus Korea Utara di Seoul, menerima gelar doktor dengan tesis tentang 'wacana Korea Utara mengenai olahraga perempuan'.
Ia melihat Korea Utara telah aktif mengembangkan atlet elitenya sejak 1960-an dan 1970-an. Pada saat itu, Olimpiade merupakan tempat di mana "perang proksi untuk sistem kompetisi" berlangsung, dan penampilan para atlet perempuan sangat sempurna untuk menunjukkan bahwa "perempuan di blok sosialis adalah setara dan telah mencapai pembebasan".
Korea Utara pertama kali mengikuti Olimpiade 1972 dengan meraih satu medali emas, satu perak, dan tiga perunggu di Munich, mengalahkan Korea Selatan yang hanya mendapatkan satu perak.
Kim Sang-yoon, mantan anggota tim tinju nasional Korea Utara yang membelot pada tahun 2000-an dan sekarang menjadi direktur Institut Penelitian Budaya Olahraga Antar-Korea, berkata, "pada tahun 1990-an ketika saya berkompetisi di Korea Utara, masing-masing sekolah olahraga memiliki sistem yang mapan untuk membina bakat olahraga atlet remaja dengan memisahkan karakteristik perempuan dan laki-laki".
Dia juga menambahkan, " sekolah olahraga [terbaik] biasanya menyeleksi dan mendidik talenta-talenta mulai dari SD atau SMP".
Ketua Komisi Urusan Negara Korea Utara, Kim Jong Un, yang menggantikan kekuasaan ayahnya pada akhir tahun 2011 juga menekankan 'membangun kekuatan olahraga' sebagai tugas utamanya sejak awal masa jabatan.
Ia sendiri bahkan dikenal sebagai 'penggemar olahraga'.
Komite Pembina Olahraga Nasional yang dibentuk segera setelah menjabat untuk mengawasi kebijakan dan proyek olahraga, diketahui masih berfungsi. Pada tahun 2015 sebuah 'siaran televisi olahraga' kemudian didirikan untuk menyiarkan pertandingan olahraga setiap akhir pekan.
Profesor Lee Woo-young dari Pascasarjana Universitas Korea Utara menjelaskan, "sejak awal pemerintahannya Kim Jong Un telah berupaya menuju normalisasi (Korea Utara) meskipun pada tingkat yang sangat terbatas, dan dalam prosesnya setelah melakukan berbagai upaya, dia menjadi lebih tertarik pada olahraga yang dia yakini bakal memenangkan medali. Ini adalah kombinasi dari kepentingan pribadinya".
Rahasia 'kekuatan perempuan'
Lantas adakah rahasia khusus dari performa atlet putri Korea Utara belakangan ini?
Para ahli mengatakan sulit untuk mengatakan bahwa atlet perempuan Korea Utara memiliki keunggulan kompetitif, namun mereka relatif lebih kompetitif di kancah internasional dibandingkan atlet pria Korea Utara.
Profesor Heo Jeong-pil dari Institut Studi Korea Utara di Universitas Dongguk, yang mempelajari olahraga Korea Utara, menganalisis bahwa kondisi fisik atlet pria Korea Utara relatif tidak menguntungkan dibandingkan dengan atlet perempuan Korea Utara untuk tampil di kancah internasional.
Profesor Heo berkata, "kekurangan terbesar atlet pria Korea Utara adalah fisik mereka yang kecil," dan menjelaskan, "untuk mengimbangi fisik atlet dari negara Barat mereka perlu mengambil tindakan yang kompleks seperti makan dengan baik dan makan banyak daging dengan pola diet. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka tidak mampu melakukannya".
Pada akhirnya, dari sudut pandang pemimpin Korea Utara yang menyatakan bahwa Kim Jong Un akan "membangun kekuatan olahraga", dia tidak punya pilihan selain fokus dan menginvestasikan sumber daya yang terbatas pada olahraga khusus perempuan yang hasilnya relatif lebih baik.
Han Seol-song, mantan petinju dan pembelot dari Korea Utara, mengatakan bahwa dia tidak merasa bahwa Korea Utara secara khusus mendukung atlet perempuan, namun katanya "saya harus berhati-hati karena mungkin akan terdengar seksis, tapi ada percakapan itu ada di antara para atlet di Korea Utara".
"Gambarannya adalah 'laki-laki di Eropa dan tempat lain lebih ungul secara fisik serta memiliki sejarah panjang dalam olahraga, sehingga laki-laki (Korea Utara) akan kesulitan mengatasi hambatan tersebut tidak peduli seberapa keras mereka berusaha'. Sementara itu, atlet perempuan tidak punya sejarah panjang dalam olahraga internasional... namun perempuan Korea Utara kuat-kuat. Jadi ada ruang bagi mereka untuk mendalami olahraga yang tidak populer, itulah yang saya maksud."
Han, yang saat ini berusia awal 30-an tahun bekerja sebagai petinju profesional di Korea Utara selama tujuh tahun sebelum membelot pada pertengahan tahun 2010-an.
Dia juga berkompetisi untuk Tim Olahraga bergengsi 4.25 yang banyak melahirkan pemain-pemain ternama.
Seperti yang ia katakan, bidang yang digeluti atlet putri Korea Utara bisa dibilang terbatas, antara lain tinju, gulat, angkat besi, serta atletik.
Atlet perempuan yang diperlakukan sebagai "pahlawan olahraga" di Korea Utara antara lain Shin Geum-dan, yang mencetak rekor dunia dan memenangkan emas di Kejuaraan Atletik Internasional di Moskow, Rusia pada 1960-an.
Kemudian ada Kye Sun-hui yang meraih medali emas di Olimpiade Atlanta 1966 setelah mengalahkan atlet judo Jepang Ryoko Tamura dan Jeong Seok-ok pemenang maraton putri pada Kejuaraan Atletik Dunia ke-7 di Seville, Spanyol pada 1999.
Meningkatkan status perempuan?
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah Kim Jong Un menekankan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat, serta mendorong olahraga.
Artinya, seluruh kebijakan terhadap perempuan telah berubah sejak Kom Jong-un berkuasa.
Sejak mengambil alih kekuasaan, Kim Jong Un telah mendorong kemajuan perempuan dalam masyarakat dengan menetapkan 8 Maret yang merupakan Hari Perempuan Internasional dan 16 November Hari Ibu -sebagai hari libur nasional.
Kehadiran perempuan juga meningkat di acara-acara resmi, termasuk putri Kim Ju-ae, saudara perempuannya yakni Kim Yo-jong dan menteri Luar Negeri Choe Son-hui.
Faktanya, Institut Studi Unifikasi Korea, sebuah lembaga penelitian yang didanai pemerintah menyatakan dalam "Buku Putih Hak Asasi Manusia Korea Utara 2023" yang dirilis akhir tahun lalu bahwa kemajuan sosial perempuan telah meningkat di bawah rezim Kim Jong Un.
Namun laporan ini juga menyatakan bahwa "peran gender dan diskriminasi tetap ada di masyarakat" dan "khususnya kesadaran akan diskriminasi gender serta kekerasan dalam rumah tangga masih terjadi di pedesaaan dibandingkan di kota".
Profesor Huh berkata, "memang benar Korea Utara adalah masyarakat yang patriarki, tetapi tidak ada diskriminasi institusional terhadap perempuan di pekerjaan, sekolah, atau aktivitas lainnya," dan "itulah sebabnya olahraga bagi perempuan tidak pernah dilarang".
Dia menambahkan bahwa penekanan Kim Jong Un pada perempuan merupakan upaya untuk tampil sebagai negara normal lainnya.
"Saat ini generasi muda di Korea Utara yang berusia akhir belasan dan awal dua puluhan, disebut generasi MZ merupakan generasi yang orang tuanya sebagian besar memiliki aktivitas ekonomi di pasar. Generasi ini secara alami mengamati dan belajar dari pengalaman orang tua mereka serta menyadari bahwa sosialisme Korea Utara bukanlah sebuah utopia."
Penjelasannya bahwa setelah periode Harduous March pada pertengahan tahun 1990-an banyak perempuan datang ke pasar untuk melakukan kegiatan ekonomi menggantikan suami mereka, dan dalam prosesnya kepercayaan terhadap sistem distribusi sosialis menurun drastis.
Pada akhirnya, perempuan generasi pasarlah yang harus meyakinkan sistem dan mendidik anak-anak mereka tentang sistem tersebut.
Akan tetapi, beberapa orang berpendapat sulit untuk melihat tren ini benar-benar meningkatkan status perempuan di Korea Utara. Sebaliknya, hal ini memberikan tanggung jawab yang berlebihan pada perempuan.
Dr. Lee Na-young mengatakan, "perempuan Korea Utara harus menjadi warga partai, berkontribusi pada persalinan, melahirkan dan membesarkan anak, dan sekarang mereka harus bekerja lebih keras untuk mendidik anak-anak mereka guna mencegah tren anti-sosialis... bahkan ada kecenderungan bagi mereka untuk menghindari [melahirkan]."
Dalam kasus olahraga perempuan, permasalahan seperti kekerasan selama latihan dan perluasan infrastruktur latihan juga dikemukakan.
Han Seol-song bilang, "Korea Utara miskin dalam segala hal, tidak hanya hak-hak perempuan, namun hak-hak perempuan juga sangat tidak terjamin," dan dia menambahkan, "bisa dibilang [di dunia olahraga Korea Utara] hal-hal seperti penyerangan dan pelecehan sering terjadi."
Ketua Kim menyebut, "ada banyak dan beragam kompetisi serta pertandingan di Korea Utara yang diikuti oleh laki-laki, tetapi karena tim perempuan dan populasinya agak terbatas, kompetisi juga pertandingan tersebut tidak sebanyak laki-laki."
Dia juga berkata, "ada atlet di Korea Utara yang memiliki keterampilan lebih baik daripada atlet putri yang berlaga di Asian Games atau Olimpiade," namun sambungnya, "ada berbagai alasan mengapa mereka tidak bisa berkompetisi di Olimpiade."
Tetapi Han meminta agar masyarakat melihat atlet Korea Utara yang berlaga di kancah internasional sebagai "atlet" layaknya atlet lainnya, ketimbang memandang mereka dengan rasa simpati atau antipati.
"Saya pikir akan baik untuk menyemangati [atlet Korea] karena mereka datang ke Olimpiade terlepas dari ideologinya... saya berharap ini akan menjadi panggung di mana mereka bisa sepenuhnya menampilkan semua hal yang telah mereka persiapkan dengan susah payah."