Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Israel Ganti Kepala Divisi Intelijen Militer, Nyatakan Hamas Mesti Hancur, Perang Panjang di Utara

Kepala Divisi Intelijen Militer baru Israel mengatakan kalau negaranya harus bersiap hadapi kemungkinan meluasnya pertempuran di utara dan sekitarnya.

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Israel Ganti Kepala Divisi Intelijen Militer, Nyatakan Hamas Mesti Hancur, Perang Panjang di Utara
khaberni/tangkap layar Reuters
Kendaraan militer Israel, di dekat perbatasan antara Israel dan Gaza, 21 Agustus 2024. 

Israel Ganti Kepala Divisi Intelijen Militer, Nyatakan Hamas Mesti Hancur dan Siap Perang di Utara Lawan Hizbullah

TRIBUNNEWS.COM - Israel mengganti Kepala Divisi Intelijen Militer di ketentaraan mereka (IDF).

Kepala Divisi Intelijen Militer IDF yang baru itu adalah, Shlomi Binder, menggantikan Aharon Haleva yang mengundurkan diri.

Dalam pernyataannya, Binder menyiratkan kalau Perang Gaza, merujuk pada tipisnya peluang kesepakatan pertukaran sandera demi gencatan senjata, bakal terus berlanjut.

Baca juga: Israel Kekurangan Amunisi Level Kritis, Peluru Iron Dome Tak Memadai Tangkis Rudal Masif Hizbullah

Dia juga mengatakan kalau negaranya harus bersiap menghadapi kemungkinan meluasnya pertempuran di utara dan sekitarnya.

"Gerakan Perlawanan Hamas harus secara sistematis hancur," kata Binder dikutip dari Khaberni, Kamis (22/8/2024).

Pejabat militer itu menambahkan – dalam pidatonya setelah mengambil posisi barunya untuk menggantikan Aharon Haliva – kalau Israel sedang berperang dalam apa yang disebutnya perang 'fair and long' dan mungkin akan meluas.

BERITA TERKAIT

Sementara itu, kepala Divisi Intelijen yang mengundurkan diri, Aharon Haleva, sekali lagi mengakui tanggung jawab atas kegagalan yang menyebabkan terjadinya serangan 7 Oktober.

Ia mengatakan, perlu dibentuk komite investigasi resmi untuk mengetahui penyebab terjadinya perang dan memastikan kejadian tersebut tidak terulang kembali.

Haliva – yang telah bertugas di militer selama 38 tahun – mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan April lalu, dan pada saat itu ia adalah salah satu dari sejumlah komandan senior yang mengatakan bahwa mereka tidak memperkirakan serangan tersebut dan gagal mencegahnya.

SERANG SURIAH - Foto dokumentasi ini memperlihatkan jet-jet Israel terbang dalam misi tempur. Berulang-ulang, dan sudah sering diprotes, Israel menggunakan wilayah udara Lebanon untuk menyerang wilayah Suriah.
SERANG SURIAH - Foto dokumentasi ini memperlihatkan jet-jet Israel terbang dalam misi tempur. Berulang-ulang, dan sudah sering diprotes, Israel menggunakan wilayah udara Lebanon untuk menyerang wilayah Suriah. (Israel Defence Force)

Siap Hadapi Skenario Apa Pun

Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kalau negaranya siap menghadapi skenario apa pun, baik dalam pertahanan atau serangan terhadap ancaman dekat dan jauh, seperti yang ia katakan.

Dalam kunjungannya ke pangkalan angkatan udara di Ramat David, Israel utara, Netanyahu menambahkan bahwa Angkatan Udara Israel ibarat tangan besi yang mampu menyerang sisi lunak musuh Israel.

Israel menghadapi ancaman kemungkinan respons yang dapat terjadi kapan saja dari Iran sejak pembunuhan kepala biro politik Gerakan Perlawanan Hamas, Ismail Haniyeh, dan pengumuman Israel tentang pembunuhan pemimpin Hizbullah Fouad Shukr di Beirut.

Baca juga: Iran Potensial Serang Israel Lewat Kombinasi Serangan Darat dan Laut, Bukan Soal Apa Tapi Kapan

Hamas Sebut Netanyahu Penipu

Pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad mengecam Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Hamad menyebut Netanyahu adalah penipu karena telah "merusak" negosiasi penyanderaan dan gencatan senjata saat ini.

Berbicara dengan Al-Mayadeen, Hamad menyebut Netanyahu "melakukan penipuan" dan mengklaim bahwa ia "menetapkan persyaratan baru dan merusak apa yang telah disepakati sebelumnya".

Hamad mendorong gagasan bahwa Netanyahu tidak tertarik pada kesepakatan dan secara aktif mencegah penyelesaian negosiasi.

"Netanyahu merusak kesepakatan tersebut dari awal," ucap Hamad.

Inkonsistensi Netanyahu

Ketidakkonsistenan Netanyahu tentang gencatan senjata di Hamas ini bukanlah hal yang baru baginya.

Berulang kali Netanyahu tampak berupaya menjegal tercapainya kesepakatan gencatan senjata.

Bahkan, negosiator Israel dan Presiden AS, Joe Biden menuduh Netanyahu tak memiliki niatan untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata.

"Dokumen yang diusulkan tidak mengandung sesuatu yang ambigu, tetapi pihak Israel menunda-nunda dalam memberikan jawaban tentang apa yang diusulkan," kata Hamas, dikutip dari The Jerusalem Post.

Hamad menuduh Israel memperkenalkan persyaratan baru terkait Koridor Philadelphia setelah kedua pihak sebelumnya sepakat mengenai penarikan total Israel.

Baca juga: Hamas Tolak Syarat Baru dari Israel, Sebut AS Bohong soal Kemajuan Negosiasi Gencatan Senjata

Ia menegaskan kembali bahwa Hamas tidak akan mengizinkan Israel untuk tetap berada di bagian mana pun dari Jalur Gaza.

Hamas mengklaim bahwa Israel meninggalkan celah dalam perjanjian untuk memungkinkan mereka kembali berperang di kemudian hari.

Hamad menyalahkan semua masalah selama negosiasi terhadap Israel.

"Israel telah menggagalkan semua upaya mediator untuk mencapai kesepakatan. Israel telah menggagalkan negosiasi Doha hari ini, dan tidak ada kemajuan," kata Hamad.

Ia meminta para mediator untuk memberikan tekanan lebih besar pada Israel.

Namun, Hamad tampaknya menjauhkan negosiasi dari respons Iran-Hizbullah yang diharapkan terhadap pembunuhan kembar Ismail Haniyeh dan Fuad Shukr.

"Respons Iran dan respons Hizbullah adalah hak mereka dan memiliki jalur yang berbeda dari jalur negosiasi," ungkap Hamad.

"Pembicaraan tentang negosiasi, hidup berdampingan dengan pendudukan, dan perdamaian semuanya bohong," katanya.

Baca juga: Hamas Mengutuk Serangan Pemukim Israel di Tepi Barat yang Menewaskan Satu Warga Palestina

Politik Kotor Netanyahu

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (kiri) dan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant (kanan).
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu (kiri) dan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant (kanan). (Instagram/Yoav Gallant)

Netanyahu terlibat dalam konsultasi politik untuk memastikan bahwa kesepakatan pertukaran tahanan potensial, jika tercapai, tidak mempengaruhi koalisi pemerintahannya.

Menurut situs berita Israel, Makan, Netanyahu berencana mengirim pesan kepada dua menteri yang menentang kesepakatan tersebut.

Kedua menteri tersebut, ialah Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich.

Baca juga: Profil Ben-Gvir, Menteri Ekstremis Penentu Kekuasaan Sayap Kanan Israel, Ingin Hamas Disingkirkan

Surat tersebut kabarnya dimaksudkan untuk meminta agar mereka tidak membubarkan pemerintahan.

Dengan kata lain, Netanyahu meminta Smotrich dan Ben-Gvir untuk tidak membubarkan pemerintah selama masa reses Knesset jika kesepakatan itu ditandatangani.

Ia telah meminta mereka untuk menunggu hingga setelah jeda perang selama 42 hari, yang menandai berakhirnya fase pertama kesepakatan, untuk melanjutkan genosida di Gaza, sebelum membuat keputusan akhir tentang hal itu.

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa Aryeh Deri, pemimpin partai Shas, telah kembali menghadiri konsultasi keamanan terbatas minggu ini setelah absen selama beberapa minggu.

Kembalinya dia ini dipandang, di media Israel, sebagai tanda bahwa kesepakatan mungkin hampir selesai.

Baca juga: Diduga Dukung Hamas, Ratusan Warga Israel Ditangkap, Laporan Selamat Datang di Neraka Dirilis

Dikutip dari Al-Mayadeen, pengungkapan ini menyoroti strategi terencana Netanyahu untuk berpotensi merusak perjanjian gencatan senjata setelah mencapai keuntungan yang diharapkan.

Dengan begitu, hal ini sejalan dengan tuduhan dari lawan-lawannya bahwa ia memprioritaskan kelangsungan hidup pemerintahannya di atas pertimbangan lain.

(oln/khbrn/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas