Takut Diamuk Pendemo Israel, Netanyahu Kirim Permintaan Maaf, Menyesal Gagal Bebaskan Sandera
Netanyahu secara perdana meminta maaf kepada jutaan warga negara setelah 6 sandera Israel ditemukan tewas di terowongan Rafah
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu secara perdana meminta maaf kepada jutaan warga negara setelah para keluarga sandera menggelar demo besar-besaran pada akhir pekan kemarin.
Lewat konferensi pers yang disiarkan televisi, Netanyahu mengatakan bahwa ia meminta maaf karena gagal menyelamatkan keenam sandera yang ditemukan tewas di sebuah terowongan di Gaza selatan.
“Saya meminta maaf karena tidak membawa mereka kembali hidup-hidup,” kata Netanyahu dikutip dari NYPost.
“Kami hampir berhasil, tetapi kami tidak berhasil. Hamas akan membayar harga yang sangat mahal untuk ini,” imbuh Netanyahu.
Tak hanya mengirimkan permintaan maaf, dalam kesempatan itu Netanyahu juga turut meminta ampunan kepada keluarga sandera.
Ia menyesal telah gagal menjalankan tugas, mengembalikan enam sandera yang ditawan militan Hamas.
Adapun daftar enam sandera yang tewas itu diantaranya Hersh Goldberg-Polin, Ori Danino, Alex Lobanov, Carmel Gat, Eden Yerushalmi, dan Almog Sarusi.
Selama konferensi itu, Netanyahu menjelaskan bahwa keenam sandera tewas lantaran ditembak Hamas di bagian belakang kepala.
“Para pembunuh ini mengeksekusi enam sandera kami, mereka menembak mereka di bagian belakang kepala,” jelasnya.
Warga Israel Gelar Mogok Kerja Massal
Sebelum enam sandera Israel ditemukan tewas di sebuah terowongan di Rafah, sebanyak 700 ribu warga Israel dilaporkan turun ke jalan.
Ratusan ribu massa ini melancarkan aksi protes terhadap pemerintah Netanyahu atas tewasnya enam sandera Hamas di Gaza.
Baca juga: 1 Sandera Israel Berhasil Dibebaskan dari Terowongan di Rafah, Jalur Gaza Selatan
Tak hanya melayangkan protes kepada Netanyahu, demonstrasi tersebut juga mendesak pemerintah Israel agar segera dilakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas terkait pembebasan warga Israel yang menjadi sandera.
Warga Israel yang kecewa dengan sikap Netanyahu yang tak kunjung mencapai kesepakatan, lantas memblokir jalan-jalan di Tel Aviv dan berdemonstrasi di luar kantor Netanyahu di Yerusalem Barat.
Demo ini menjadi demonstrasi anti pemerintah terbesar di Israel sejak perang Gaza dimulai hampir 11 bulan lalu.
Massa yang kian membabi buta bahkan mendorong para warga Israel di Tel Aviv untuk menggelar mogok nasional, sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Netanyahu atas tewasnya enam sandera Hamas.
Sementara itu, untuk pertama kalinya federasi serikat pekerja terbesar Israel, Histadrut menyerukan pemogokan umum guna menekan pemerintah agar menandatangani kesepakatan gencatan senjata.
Hal serupa juga turut dilakukan Serikat Pekerja Bandara Ben Gurion, pusat transportasi udara utama Israel.
Mereka mengancam akan menutup operasional bandara mulai Senin pukul 08.00 pagi waktu setempat hingga batas waktu yang tak ditentukan.
Adapun langkah ini bertujuan untuk menutup atau mengganggu sektor-sektor utama ekonomi Israel, termasuk perbankan dan perawatan kesehatan.
Menyusul yang lainnya, layanan kota di pusat ekonomi Israel, Tel Aviv, juga akan ditutup selama mulai Senin kemarin.
"Tanpa pengembalian para sandera, kita tidak akan dapat mengakhiri perang, kita tidak akan dapat merehabilitasi diri kita sebagai masyarakat dan kita tidak akan dapat mulai merehabilitasi ekonomi Israel," kata kepala asosiasi Ron Tomer.
Popularitas Netanyahu di Israel Menyusut
Sejak demo pecah, jajak pendapat yang dilakukan oleh Channel 12 Israel mengungkap bahwa sebagian besar masyarakat Israel memandang lemah kinerja Netanyahu bersama dengan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Yoav Gallant selama perang.
Imbas masalah ini popularitas Netanyahu di Israel mulai memudar.
Dalam jajak pendapat di surat kabar Maariv pada 18-19 Oktober lalu bahkan nama Benjamin Netanyahu kalah saing dengan mantan menteri pertahanan Benny Gantz.
“Netanyahu akan mundur. Sama seperti pejabat tinggi militer, intelijen, dan GSS (badan intelijen). Karena mereka gagal,” tulis surat kabar harian Israel Hayom.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)