Jadi Tempat Gugurnya Yahya Sinwar di Rafah Gaza, Pemilik Rumah Abu Taha: Kami Bangga
Abu Taha, pemilik rumah di Rafah Gaza selatan merasa bangga rumahnya menjadi tempat syahidnya Yahya Sinwar dalam bentrokan lawan tentara Israel.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Seorang pemilik rumah di Rafah, Jalur Gaza selatan merasa bangga karena rumahnya menjadi tempat syahidnya pemimpin Hamas, Yahya Sinwar.
Yahya Sinwar dibunuh setelah terlibat bentrokan dengan pasukan Israel di sebuah rumah di lingkungan Tal Al-Sultan, sebelah barat kota Rafah, di selatan Gaza pada Rabu (16/10/2024).
Rumah tersebut adalah milik keluarga Abu Taha yang terletak di Jalan Ibnu Sina di lingkungan Tal Al-Sultan, sebelah barat kota Rafah, selatan Jalur Gaza.
Sebuah akun di media sosial Instagram bernama “Gaza Sweet”, yang pemiliknya tampaknya berasal dari keluarga Abu Taha, membenarkan rumah tempat Yahya Sinwar syahid adalah miliknya.
Abu Taha sekeluarga terpaksa mengungsi dari rumah tersebut pada Mei 2024 lalu karena meluasnya serangan Israel di Rafah.
Akun Instagram Gaza Sweet menerbitkan dua gambar apartemen dalam tampilan normal sebelum dan sesudah perang.
Gambar tersebut dengan jelas menunjukkan sofa tempat Yahya Sinwar duduk ketika drone Israel masuk dan merekamnya sebelum membunuhnya.
"Rumah kami telah meningkatkan kehormatan dan kebanggaan terhadap (Yahya Sinwar) Abu Ibrahim, pemimpin yang gigih. Kami bersyukur kepada Allah bahwa kami telah diberi kehormatan ini,” tulis akun Gaza Sweet, Sabtu (19/10/2024).
“Atas nama saya dan atas nama keluarga Abu Taha, kami semua bangga bahwa Abu Ibrahim syahid di rumah kami," lanjutnya.
Dalam postingan lainnya, ia mengunggah gambar sofa tempat Yahya Sinwar duduk.
“Sofa dan kursi paling murni dan terhormat di seluruh dunia ada di rumah kami. Semoga Tuhan mengasihani Anda dan menjadikan Anda tinggal di surga-Nya yang luas, Abu Ibrahim,” tulisnya, mendoakan Yahya Sinwar.
Baca juga: Video Detik-detik Yahya Sinwar Jadi Sasaran Artileri Israel di Rafah Jalur Gaza Selatan
"Bukankah Ini Rumah Kita?"
Abu Taha mengungkapkan momen ketika ia pertama kali mengetahui bahwa rumahnya menjadi tempat bentrokan Yahya Sinwar dan tentara Israel sebelum pembunuhan terhadap pemimpin Hamas tersebut.
“Saya tinggal di rumah ini selama 15 tahun bersama keluarga saya. Kami tidak pernah pindah dari sana, bahkan selama perang, kecuali ketika mendekatnya operasi militer Israel dan dikeluarkannya perintah evakuasi dan semua tetangga saya di Rafah mengungsi," kata Abu Taha, seperti diberitakan BBC, Sabtu (19/10/2024).
Abu Taha mengatakan dia bekerja di Klub Layanan Administratif Rafah dan tidak memiliki afiliasi politik.
“Membangun rumah ini menghabiskan biaya 200.000 shekel (sekitar 53.800 dolar AS), yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun saya bekerja di bidang perdagangan sebagai sampingan dari pekerjaan saya sehingga saya dapat membelinya itu, dan saat itu saya mempersiapkannya dengan maksimal. Saya tidak pernah membayangkan rumah ini akan berubah menjadi medan pertempuran antara Yahya Sinwar dan tentara Israel suatu hari nanti,” kata Abu Taha.
Ia mengetahui berita pembunuhan Yahya Sinwar dari putrinya karena ia sendiri tidak menggunakan media sosial.
“Saya tidak ada hubungannya dengan media sosial modern, tapi putri saya melihat gambar dan klip video yang diposting, jadi dia segera menunjukkannya kepadaku dan bertanya kepadaku: Bukankah ini rumah kita?” katanya menceritakan momen ketika putrinya memberitahunya.
"Saya kagum ketika melihatnya. Saya tidak dapat mempercayainya. Tetapi saudara laki-laki saya menelepon saya dan memberi tahu saya bahwa itu adalah rumah saya, jadi saya yakin dengan apa yang mata saya lihat. Saya berbohong kepadanya pada pandangan pertama, dan aku menerima berita itu sebagai suatu kejutan yang sampai saat ini aku tidak dapat mempercayainya," ujarnya.
Abu Taha membenarkan, rumahnya masih utuh saat ia mengungsi pada 6 Mei lalu dan tidak pernah terkena pengeboman apapun, dan selama ini ia tidak mengetahui informasi apapun karena lokasi rumah itu menjadi daerah operasi militer yang berbahaya.
Ia juga mengatakan sofa berwarna oranye penuh debu yang diduduki Yahya Sinwar adalah pemberian ibunya dan telah dipakai selama 15 tahun.
“Itu adalah sofa yang sama yang saya duduki ketika saya sedang mengumpulkan beberapa peralatan yang akan menemani saya sebelum mengungsi," kata Abu Taha.
"Sofa ini adalah bagian dari set tempat duduk yang diberikan ibu saya, jadi ini memiliki pengaruh khusus bagi saya. Ini adalah set tempat duduk yang sama yang selalu digunakan oleh anggota keluarga saya selama 15 tahun," tambahnya.
Pembunuhan Yahya Sinwar
Yahya Sinwar dibunuh setelah bentrokan secara 'kebetulan' dengan tentara Israel di sebuah rumah di lingkungan Tal Al-Sultan, sebelah barat kota Rafah, di selatan Gaza pada Rabu (16/10/2024).
Tentara Israel mengerahkan pasukan artileri dan drone untuk menyerang Yahya Sinwar dan dua komandan Hamas yang bersamanya di bangunan tersebut.
Setelah bentrokan, tentara Israel melakukan survei ke bangunan itu pada Kamis (17/10/2024) pagi dan menemukan jenazah mereka, yang satu di antaranya mirip Yahya Sinwar, seperti diberitakan Al Masry Alyoum.
Beberapa bagian tubuh Yahya Sinwar—seperti sehelai rambut dari janggutnya dan potongan jarinya—dipindahkan ke departemen forensik Kepolisian Israel dan IDF mengumumkan hasil tes materi genetiknya cocok dengan data yang dimiliki Israel ketika dulu Yahya Sinwar dipenjara.
Yahya Sinwar ditunjuk sebagai Kepala Biro Politik Hamas pada 6 Agustus 2024 untuk menggantikan Ismail Haniyeh yang diduga dibunuh Israel dalam ledakan di Teheran, Iran pada 31 Juli 2024.
Jumlah Korban di Jalur Gaza
Saat ini, Israel yang didukung Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, masih melancarkan agresinya di Jalur Gaza, jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 42.519 jiwa dan 99.637 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Minggu (20/10/2024), dan 1.147 kematian di wilayah Israel, dikutip dari Wafa Palestine.
Sebelumnya, Israel mulai membombardir Jalur Gaza setelah gerakan perlawanan Palestina, Hamas, meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023), untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak tahun 1948.
Israel mengklaim, ada 101 sandera yang hidup atau tewas dan masih ditahan Hamas di Jalur Gaza, setelah pertukaran 105 sandera dengan 240 tahanan Palestina pada akhir November 2023.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel