Bagaimana Nasib Gaza dan Ukraina di Tangan Donald Trump atau Kamala Harris?
Konflik di Gaza yang masih berlangsung dan semakin panas hingga perang Rusia-Ukraina yang terus bergulir telah membuat perang Washington dipertanyakan
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Bobby Wiratama
Hanya 23 negara anggota NATO yang mencapai target itu pada 2024.
Namun, pernyataan Trump yang tidak menentu masih terasa janggal.
Gottemoeller yakin "NATO akan berada di tangan Washington yang baik" kalau Harris menang.
Akan tetapi, dia juga memberi peringatan.
"Dia akan siap untuk terus bekerja dengan NATO dan Uni Eropa demi meraih kemenangan di Ukraina, tapi dia tidak akan mundur untuk memberi tekanan [pengeluaran] terhadap Eropa".
Meski demikian, pemerintahan Harris akan diimbangi dengan Senat atau DPR yang bisa saja dikuasai Partai Republik.
Partai Republik akan cenderung untuk tidak mendukung perang di negara asing dibandingkan Partai Demokrat.
Jadi, ada semacam kekhawatiran bahwa siapa pun yang terpilih menjadi presiden, tekanan terhadap Ukraina akan meningkat untuk menemukan cara mengakhiri peran. Itu karena parlemen AS akan enggan menyetujui paket bantuan besar.
Presiden AS berikutnya harus bekerja di tengah risiko terbesar terjadinya konfrontasi kekuatan-kekuatan besar global sejak era Perang Dingin.
"AS tetap menjadi aktor internasional yang paling berpengaruh soal perdamaian dan keamanan", kata Presiden dan CEO International Crisis Group, Comfort Ero.
"Tapi kekuatan AS untuk membantu menyelesaikan konflik berkurang," tambahnya.
Baca juga: Donald Trump vs Kamala Harris: Siapa Capres yang Paling Zionis atau Pro-Israel?
Perang seperti di Ukraina melibatkan banyak kekuatan, sedangkan konflik seperti di Sudan mengadu aktor-aktor regional yang bersaing demi kepentingan masing-masing.
Beberapa pihak lebih memilih berinvestasi dalam perang ketimbang perdamaian.
Selain itu, Ero berpendapat bahwa standar moral AS juga dipertanyakan.