Hal-hal yang mungkin terjadi saat Donald Trump menjabat presiden AS lagi
Donald Trump memenangi Pilpres AS lagi. Bagaimana masa jabatan keduanya? Akankah berbeda dari masa jabatan pertamanya?
Imbasnya, sejumlah perempuan meninggal karena dokter tidak memberikan perawatan yang memadai saat mereka mengalami keguguran. Para dokter itu takut dituntut secara pidana bila melakukan intervensi.
Kebijakan ini lantas memancing reaksi keras terhadap Partai Republik. Ia beberapa kali kalah dalam pemilu sejak 2022, termasuk di tempat yang secara tradisional merupakan daerah pemilih konservatif. Sebagian besar pemilih menilai larangan aborsi yang ada sudah kelewatan.
Situasi ini memaksa Trump berubah sikap. Dalam kampanyenya untuk pemilu 2024, ia menepis dugaan ia bakal meneken larangan aborsi nasional bila terpilih kembali jadi presiden.
Dalam debat dengan Kamala Harris yang disiarkan televisi pada bulan September, Trump menegaskan tidak akan menandatangani larangan aborsi federal karena "tidak ada alasan untuk menandatangani larangan tersebut karena kami telah mendapatkan apa yang diinginkan semua orang", katanya.
Trump pun mengecam larangan aborsi setelah usia kehamilan mencapai enam minggu yang ada di Florida. Namun, di sisi lain, ia menentang inisiatif untuk memberlakukan hak aborsi di negara bagian tersebut.
Kebijakan luar negeri yang isolasionis
Kebijakan isolasionis AS saat periode kepemimpinan pertama Trump yang memicu berbagai kontroversi tampaknya akan kembali saat dia menjabat presiden lagi.
"Saya melihat masa jabatan presiden Trump ditandai oleh isolasionisme dan unilateralisme yang tidak banyak menawarkan apa pun selain pendalaman ketidakstabilan global," kata Martin Griffiths, seorang mediator konflik veteran, yang hingga baru-baru ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat.
Agenda 47, program pemerintahan yang dijanjikan Trump bila terpilih kembali, mencakup agenda untuk mencegah terjadinya Perang Dunia III dan untuk memulihkan perdamaian di Eropa dan Timur Tengah.
Mitra-mitra AS di Eropa tampak cemas dengan kemungkinan kembalinya Trump jadi presiden.
Ancaman Trump untuk meninggalkan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bergema di telinga dunia, kata Rose Gottemoeller, mantan wakil sekretaris jenderal NATO, pada BBC.
Keresahan lain utamanya adalah yang terkait dengan perang di Ukraina.
Trump sempat mengatakan Ukraina seharusnya mengalah pada Rusia. Dengan begitu, katanya, perang bisa dihindarkan.
Ia pun mengecam dukungan ekonomi dan militer yang diberikan AS pada Ukraina setelah invasi Rusia yang, menurutnya, berlebihan dan justru memperpanjang konflik alih-alih meredakannya.
Trump mengatakan jika dia yang jadi presiden, perang itu tidak akan terjadi. Dan, jika kembali berkuasa, ia mengeklaim akan mengakhiri perang dalam waktu 24 jam melalui perjanjian yang diteken bersama Rusia.
Namun, para pengkritik Trump berpendapat cara ini hanya akan memberi Vladimir Putin kekuatan yang lebih besar.
Terkait perang di Gaza, Trump telah menyatakan dirinya sebagai "pelindung Israel", meski ia juga mengkritik cara negara itu menangani konflik, dan menyerukan agar pemerintahan Benjamin Netanyahu segera meraih kemenangan dan mengembalikan situasi menjadi normal.
“Saya akan segera mendamaikan Timur Tengah,” katanya belum lama ini dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV Al Arabiya dari Arab Saudi.
Trump juga bertekad memperluas cakupan Abraham Accords atau Perjanjian Abraham, yang disponsori pemerintahannya pada 2020.
Melalui perjanjian itu, empat negara Arab sepakat menormalkan hubungan diplomatik dengan Israel. Negara-negara itu adalah Uni Emirat Arab, Maroko, Bahrain, dan Sudan.
Perjanjian ini dikecam karena dianggap mengesampingkan persoalan Palestina, yang secara historis menjadi hambatan utama bagi terjalinnya hubungan antara Israel dan negara-negara Arab.
Negara selanjutnya yang kemungkinan ambil bagian dalam Perjanjian Abraham adalah Arab Saudi.
Namun, setelah terjadi perang di Gaza, Arab Saudi sempat menyatakan tidak akan terlibat dalam perjanjian itu sampai ada jalan keluar untuk pembentukan negara Palestina—sesuatu yang terus ditentang pemerintahan Israel pimpinan Netanyahu.
Namun, komposisi Kongres AS akan menentukan apakah ia mampu menempuh kebijakan-kebijakan sesuai yang diinginkannya.
Karena Partai Republik telah kembali menguasai Senat dan DPR dalam pemilu kali ini, pemerintahan Trump kemungkinan akan mengesahkan undang-undang yang mencakup pendanaan untuk, antara lain, keamanan perbatasan, penyelesaian tembok perbatasan, dan pemotongan pajak.
Perlu dicatat bahwa pada 2017-2019, Partai Republik juga menguasai Senat dan DPR. Tetapi saat itu, Trump dianggap gagal memanfaatkan keunggulan Partai Republik sebagai kekuatan mayoritas di Kongres sehingga dia tidak bisa mengegolkan kebijakan-kebijakannya, kata para analis politik saat itu.
Penyelamat atau perusak demokrasi AS?
Demokrasi merupakan salah satu isu kunci dalam kampanye pemilu presiden AS 2024. Namun, ada sejumlah pandangan berbeda terkait isu ini.
Partai Republik mengatakan periode kedua pemerintahan Trump akan memulihkan sistem dengan asas dari, untuk, dan bagi rakyat, serta menegakkan konstitusi dan menjaga integritas pemilu.
Di sisi lain, Partai Demokrat yakin Trump adalah ancaman bagi demokrasi, utamanya mengingat penolakan Trump untuk mengakui kekalahannya di pemilu presiden 2020 dan upayanya memutarbalikkan hasil pemilu itu, serta serangan ke Capitol Hill pada Januari 2021.
Yang jelas, Partai Republik tampaknya akan berusaha membuat periode kedua pemerintahan Trump lebih efektif dan memastikan tujuan-tujuan Trump dapat tercapai tanpa halangan dari mereka yang tak sepemikiran.
Pada masa jabatan pertama Trump, ada sejumlah pejabat pemerintah dari berbagai level yang memoderasi atau menghalangi inisiatif Trump karena berbagai alasan, misalnya karena kebijakannya dianggap merugikan negara atau ilegal.
Partai Republik menilai kurangnya persiapan dari tim mereka sendiri membuat pemerintahan Trump dahulu terkena dampak negatif.
Trump juga sempat bilang bahwa kesalahan terbesarnya saat menjadi presiden adalah memilih orang-orang yang tidak loyal.
Untuk mengatasi masalah ini, menurut Agenda 47, di hari pertamanya menjabat kembali Trump akan meneken kebijakan yang memungkinkannya menempatkan orang-orang yang ia percaya di posisi-posisi kunci yang secara tradisional diisi oleh para pejabat karier.
Trump sebenarnya sempat mencoba mengeluarkan kebijakan ini pada Agustus 2020, tapi urung memetik hasilnya karena kemudian kalah dalam pemilu presiden tahun itu.
Mudahnya, kebijakan itu akan memungkinkan presiden untuk memecat ribuan pegawai pemerintah dan mengganti mereka dengan para pendukungnya sendiri, kata Zurcher, koresponden BBC untuk wilayah Amerika Utara.
Dengan tim yang diisi orang-orang kepercayaannya sendiri, Trump disebut bisa menelurkan kebijakan dengan lebih efektif dan minim keributan.
Namun, sejumlah pihak khawatir dengan kebijakan semacam itu.
Menurut Barbara Perry, profesor studi kepresidenan dari Universitas Virginia, mengganti pejabat karier berarti menghilangkan pengetahuan dan pengalaman administrasi publik yang telah mereka bangun selama puluhan tahun bekerja secara nonpartisan.
"Di Amerika Serikat, reformasi layanan publik dilakukan pada abad ke-19, tepatnya untuk menyingkirkan orang-orang yang menduduki jabatan di pemerintahan karena alasan politik," katanya.
Jika itu terjadi, tidak akan ada rem untuk membatasi agenda dan ekstremisme Trump, imbuhnya.
Terlebih lagi, Trump telah memiliki Mahkamah Agung yang mayoritas diisi hakim konservatif. Maka, kata Perry, jika Partai Republik juga menguasai Gedung Putih dan Kongres AS, akan sangat sulit untuk membatasi langkah pemerintah.
Namun, menurut Agenda 47, langkah ini justru diambil untuk membongkar apa yang disebut “deep state”, jaringan rahasia yang diduga terdiri dari pejabat yang tidak dipilih publik yang akan mengendalikan negara. Ini juga disebut bakal memerangi korupsi dalam pemerintahan.
Jika Trump jadi presiden lagi, rakyat Amerika akan menyaksikan sendiri bagaimana implikasi kebijakan ini.
Donald Trump adalah presiden kedua dalam sejarah negara itu yang menjabat dua periode tidak berturut-turut.