Netanyahu Langsung Tancap Gas Bahas Iran setelah Donald Trump Menang Pilpres AS 2024
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu langsung membahas soal Iran setelah Donald Trump dinyatakan menang dalam Pilpres AS 2024.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, keluar sebagai pemenang dalam kontestasi Pilpres AS 2024.
Setelah Donald Trump dinyatakan menang, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu langsung mengucapkan selamat.
Netanyahu menjadi pemimpin dunia pertama yang memberikan selamat kepada Trump.
"Pembicaraannya hangat dan ramah," kata kantor Netanyahu, dikutip dari The Jerusalem Post.
Dalam panggilan teleponnya dengan Trump, Netanyahu membahas kesepakatan kerja sama di antara kedua negara.
Tak hanya itu, Netanyahu juga membahas ancaman Iran kepada Trump.
"Keduanya juga membahas ancaman Iran," ucapnya lagi.
Sebelumnya, Trump telah berjanji untuk menghentikan semua perang dalam pidatonya pada Rabu (6/11/2024) pagi.
Para pakar berharap bahwa terpilihnya Trump akan memberikan efek yang mengekang bagi Teheran, tetapi Iran belum menunjukkan tanda-tanda akan menarik kembali ancamannya untuk melancarkan serangan lain terhadap Israel.
Terpilihnya Trump diperkirakan akan mengubah arah perang multifront Israel dan perang Rusia-Ukraina.
Janji Akhiri Perang di Timur Tengah
Baca juga: Nasib Gaza setelah Donald Trump Menang di Pilpres AS, Bisa Jadi Israel Punya Wilayah Baru
Selama kampanyenya untuk menduduki kursi Gedung Putih, Donald Trump mengatakan akan mengakhiri perang di berbagai front, termasuk di Timur Tengah.
Trump memperkenalkan dirinya kepada para pemilih Amerika sebagai pemimpin dan pembuat kesepakatan yang kuat.
Ketika ditanya tentang perang Israel di Gaza, ia berkata bahwa ia ingin "menyelesaikannya dan mari kita kembali ke perdamaian serta berhenti membunuh orang".
Pernyataan Trump tentang mengakhiri perang dan melepaskan diri dari Timur Tengah akan berbenturan dengan dukungan kuatnya terhadap Israel dan keinginan untuk menerapkan kembali kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran.
"Trump berkemungkinan besar akan melihat Iran sebagai ancaman nyata yang perlu dibendung, bukan melalui perang, tetapi penegakan sanksi yang ketat, khususnya pada ekspor minyak Iran."
"Ada alasan terkait Ukraina dan ideologis bagi Biden untuk tidak memberlakukan sanksi, Trump tidak akan memiliki kendala seperti itu," kata mantan pejabat senior AS untuk Trump, James Jeffrey, kepada Middle East Eye.
Trump sendiri mengatakan bahwa ia yakin Iran berada dalam "bahaya besar" karena serangan Israel terhadap apa yang disebut Poros Perlawanan Teheran.
Trump menyampaikan komentar tersebut sebelum Israel melancarkan serangan langsung terhadap Iran.
Baca juga: Joe Biden Komentari Kekalahan Kamala Harris dari Donald Trump di Pilpres AS 2024
Alan Pino, mantan pejabat CIA dan Dewan Intelijen Nasional untuk Timur Tengah mengatakan, "titik awal dasar bagi Trump adalah dukungan tanpa syarat terhadap Israel".
"Jadi, saya pikir Trump akan merasa puas jika ada gerakan ke arah yang benar untuk mengakhiri perang tersebut, tetapi dia tidak akan terobsesi dengan hal itu," ujarnya.
Dari kedua konflik tersebut, mengakhiri perang di Lebanon menjadi isu yang paling menonjol dalam kampanye Trump.
Ia secara khusus mengatakan bahwa ia ingin "menghentikan penderitaan dan kehancuran" di negara Mediterania tersebut bulan lalu.
Daya tarik Trump tampaknya sebagian berasal dari pengaruh penasihatnya dari Lebanon, Massad Boulos, yang putranya menikah dengan putri Trump, Tiffany. Boulos berkampanye bersama Trump di Michigan.
Baca juga: 4 Populer Internasional: Donald Trump Memenangkan Pilpres AS 2024 - Kecanggihan UAV Ukraina
Di Lebanon, Trump akan mewarisi rancangan kasar pemerintahan Biden untuk gencatan senjata.
Rencana tersebut menyerukan peningkatan pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon, pengerahan Angkatan Darat Lebanon ke wilayah selatan negara itu yang merupakan jantung Hezbollah, dan pemberian lebih banyak kebebasan bagi Israel untuk bermanuver di Lebanon.
"Pada dasarnya, Lebanon akan berubah menjadi Suriah," kata Pino.
"Israel dapat beroperasi sesuka hati jika merasa terancam seperti yang terjadi di Suriah, tetapi Hizbullah tidak akan menyerahkan kekuasaan de facto-nya atas pemerintahan, seperti Bashar Assad," lanjutnya.
Namun Pino mengatakan Hizbullah tidak mungkin akan menyerahkan terlalu banyak wilayahnya pada tuntutan AS yang mengekang mobilitas dan kemampuannya untuk mempersenjatai kembali.
Baca juga: Kalah dari Donald Trump, Kamala Harris Minta Pendukungnya Terima Hasil Pilpres AS
"Hizbullah tidak ingin terlihat terlalu lemah, karena mereka khawatir hal itu dapat mendorong lawan-lawan domestiknya untuk mengambil keuntungan dari mereka," ucapnya.
"Warga Israel yang dievakuasi dari wilayah utara akan mendesak adanya jaminan kuat yang dapat menghentikan Hizbullah sebelum mereka kembali ke rumah mereka," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)