COP29: Siapa yang Hambat Negosiasi KTT Iklim?
Saat KTT iklim PBB di Baku, Azerbaijan, memasuki minggu kedua, negosiasi pendanaan iklim malah melambat. Namun, ada harapan bahwa…
Waktu hampir habis untuk mencegah krisis iklim dan meningkatnya suhu Bumi yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Akibatnya, manusia semakin sering menghadapi badai, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan ekstrem.
Namun, frustrasi di kalangan pegiat lingkungan justru meningkat, karena satu minggu setelah COP29, negosiasi sejauh ini hanya menghasilkan sedikit kemajuan. Adapun perundingan soal dana ganti rugi dan pendanaan solusi iklim yang menjadi prioritas utama KTT, telah menemui jalan buntu.
"Minggu pertama konferensi tidak mencapai apa yang diperlukan untuk bisa merasa optimis tentang minggu kedua,” kata Jan Kowalzig, pakar perubahan iklim dan kebijakan di Oxfam, sebuah LSM internasional yang berfokus pada kemiskinan dan ketidakadilan.
"Kedua tema utama COP29, ambisi yang lebih besar terhadap perlindungan iklim dan dukungan yang kuat bagi negara-negara berpendapatan rendah, ditandai oleh posisi dan hambatan yang berlawanan.”
Kemarin, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak para pemimpin dunia yang berkumpul di Rio de Janeiro dalam KTT G20 minggu ini untuk membantu menyelamatkan pembicaraan yang macet. "Hasil yang sukses pada COP29 masih dapat dicapai, namun hal ini memerlukan kepemimpinan dan kompromi, khususnya dari negara-negara G20.”
Siapa hambat solusi iklim?
KTT iklim PBB tahun ini di ibu kota Azerbaijan, Baku, bisa dibilang tidak berjalan mulus. Ketidakhadiran para pemimpin dari berbagai negara produsen emisi terbesar, termasuk Jerman, Prancis, dan AS, menarik perhatian, seperti halnya presiden Azerbaijan Ilham Aliyev ketika dia berpidato dan menggambarkan minyak dan gas sebagai "karunia Tuhan”.
Sementara itu, Presiden terpilih AS Donald Trump telah memperjelas rencananya untuk menarik diri dari perjanjian iklim Paris untuk kedua kalinya ketika dia kembali ke Gedung Putih. Adapun Argentina memanggil pulang delegasinya di tengah KTT sebagai aksi protes.
Salah satu poin penting yang menjadi perdebatan adalah mengembangkan tujuan keuangan iklim — yang dikenal sebagai New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG) — yang akan memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara berkembang untuk mengatasi emisi dan beralih dari bahan bakar fosil.
Diperkirakan bahwa pada akhir dekade ini negara-negara berkembang, tidak termasuk Cina, akan membutuhkan USD1 triliun per tahun untuk membantu mereka menanggapi krisis iklim, menurut sebuah studi dari para ekonom terkemuka yang diterbitkan minggu lalu. Namun, negara-negara masih merundingkan angka akhir dari tujuan iklim, serta jenis pembiayaan dan siapa yang harus membayar.
Negara-negara Barat ingin Cina dan negara-negara Teluk yang kaya untuk berkontribusi pada pendanaan iklim. Sektor swasta juga didesak untuk ikut dilibatkan dalam penggalangan investasi.
"Seperti yang dikatakan Jerry McGuire, 'tunjukkan padaku uangnya'. Jumlah keuangan iklim, bersama dengan siapa yang membayar dan siapa yang menerimanya, merupakan hal yang penting untuk membuka negosiasi dan mengamankan hasil yang kuat di COP29," kata Manuel Pulgar-Vidal, pemimpin iklim dan energi global di organisasi lingkungan WWF.
"Perjanjian baru seputar pendanaan iklim yang memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang sangat penting untuk memungkinkan mereka menetapkan target mitigasi yang ambisius dan jalur untuk mencapainya. Perjanjian ini juga harus memastikan mereka dapat beradaptasi dan menanggapi konsekuensi dari kenaikan suhu. Tidak ada waktu untuk menunda, karena negara-negara harus menyerahkan rencana iklim nasional baru mereka sebelum COP30 pada bulan November tahun depan,” tambahnya.
Bagaimana kelanjutan KTT Iklim?
Minggu ini para menteri pemerintah akan tiba di Baku untuk mengambil alih negosiasi, dengan hanya beberapa hari tersisa untuk mencapai kesepakatan akhir.
"Tengah-tengah negosiasi iklim selalu menjadi waktu yang penuh tantangan. Sejauh ini belum ada kemajuan yang cukup di COP29, dan waktu terus berjalan bagi negara-negara untuk mencapai konsensus pada berbagai isu penting,” kata Rachel Cleetus, direktur kebijakan program iklim dan energi di Union of Concerned Scientists.
"Inilah saatnya bagi negara-negara penghasil emisi utama, terutama negara-negara kaya, untuk menunjukkan kepemimpinan dan bernegosiasi dengan itikad baik guna menjaga kepercayaan dan kredibilitas.”
Berbicara pada sebuah pengarahan hari ini, Wopke Bastiaan Hoekstra, Komisioner Eropa untuk Aksi Iklim mencatat bahwa meskipun kurangnya kemajuan sering disesalkan pada tahap negosiasi COP ini, masih ada dasar yang kuat untuk optimisme.
"Meskipun situasi geopolitik sulit, kita dapat dan harus memperoleh hasil yang baik". Hoekstra meminta presidensi COP untuk mulai menyatukan negara-negara guna berfokus pada upaya konkret sesegera mungkin minggu ini.
Presiden COP29 Mukhtar Babayev mengakui bahwa ia khawatir dengan kecepatan negosiasi dan menekankan bahwa kepemimpinan G20, yang mencakup 85% PDB global dan 80% emisi, sangat penting untuk membuat kemajuan di Baku pada semua pilar Perjanjian Paris, mulai dari keuangan hingga mitigasi dan adaptasi.
"Kita tidak akan berhasil tanpa mereka, dan dunia sedang menunggu kabar dari mereka. Kami mendesak mereka untuk menggunakan pertemuan G20 guna mengirimkan sinyal positif atas komitmen mereka untuk mengatasi krisis iklim. Kami ingin mereka memberikan mandat yang jelas untuk dilaksanakan di COP29. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan mereka," kata Babayev.