Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

Drama Pendanaan Iklim COP29, Bagaimana Posisi Indonesia?

Pendanaan iklim jadi isu krusial dalam pertemuan internasional iklim COP29 di Azerbaijan. Bagaimana perdebatannya jelang berakhirnya…

zoom-in Drama Pendanaan Iklim COP29, Bagaimana Posisi Indonesia?
Deutsche Welle
Drama Pendanaan Iklim COP29, Bagaimana Posisi Indonesia? 

Dalam Koneferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, negara-negara berkembang terus mendesak negara maju untuk memenuhi komitmen terkait target anggaran iklim baru atau yang disebut sebagai New Collective Quantified Goal (NCQG). Perundingan berjalan lambat tetapi terus berlanjut. Masih terjadi perbedaan pandangan dalam skema dan jumlah pendanaan iklim.

Mengenai kuantum, semua pihak setuju bahwa harus ada kuantum untuk pendanaan iklim. Ada desakan NCQG dibingkai dalam ketentuan yang setara dengan hibah. Perbedaan lainnya adalah beberapa kelompok telah mengajukan usulan pembagian beban pendanaan, tetapi hal ini tidak disetujui secara seragam. Negosiator Indonesia Joko Prihatno menyebutkan masih mungkin terjadi perubahan jelang berakhirnya COP29.

Para negosiator negara-negara berkembang menekankan permintaan dana iklim di atas satu triliun dolar AS per tahun, terutama dari sumber-sumber publik di negara-negara maju. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa Pasal 9 Perjanjian Paris tidak terbuka untuk ditafsirkan ulang. Namun, masih ada ruang untuk kontribusi sukarela bagi NCQG dari negara-negara selatan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Pasal 9 Perjanjian Paris menetapkan negara-negara maju untuk berkomitmen menyediakan dana 100 miliar dolar per tahun, mulai dari tahun 2020. Dana ini diperlukan untuk mendukung negara-negara berkembang dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Pembiayaan ini bisa berupa hibah, pinjaman lunak, dan investasi.

Satu pengumuman positif yang muncul adalah persetujuan standar internasional terkait pasar karbon global, dan untuk meningkatkan integritas program kredit karbon, dengan kembali ke kesepakatan Glasgow (2021) yang tertuang dalam naskah Artikel 6, demikian diisebutkan Joko Prihatno. Negara-negara dapat menyepakati untuk mengalihkan pengurangan emisi mereka kepada negara lain melalui transaksi pasar karbon yang terstandarisasi.

"Indonesia happy, karena dalam naskah ada kata-kata pengaturan nasional, dan berdasarkan platform regulasi nasional. Tapi tidak tahu negara mana yang tidak mau ya, karena diskusi-diskusi kelompok itu sifatnya tertutup," ujar Joko dalam wawancara dengan wartawan di Baku.

Berita Rekomendasi

"Jika ada gerilya dari negara lain, saya tidak tahu. Karena pengalaman di Dubai tahun lalu, karena negara-negara maju seperti Uni Eropa, mereka tidak setuju, karena ada masalah hak asasi manusia, masyarakat adat dan tidak mampu. Jangan sampai terjadi itu. Kami mendorong tercapainya kesepakatan."

Indonesia perlu petakan sumber karbon dari laut

Sementara untuk pengurangan karbon nonmarket, pihak-pihak, perusahaan privat, entitas, filantropi, dapat melakukan kerja sama dengan pihak luar negeri. "Sifatnya bantuan, boleh ke LSM, pemerintah, tetapi tidak boleh ada transfer unit karbon, karena bantuan itu sifatnya hibah, sementara unit karbon yang dihasilkan menjadi hak dalam negeri," papar Joko lebih lanjut.

"Selama untuk National Determined Contribution (NDC), tidak masalah. Kalau dijual ke luar negeri, tidak boleh."

Sementara itu, Fegi Nurhabni dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia menyebutkan salah satu kesulitan mendapat pendanaan untuk isu kelautan adalah karena kurangnya data, di antaranya pemetaan. Misalnya untuk terumbu karang atau padang lamun yang merupakan penyerap karbon.

"Indonesia salah satu rumah terbesar padang lamun. Kita coba gali dari sini, namun belum kita hitung nilainya. KIta selama ini agak mengabaikan laut. Kita sudah punya peta nasional mangrove, namun belum punya peta nasional untuk padang lamun dan terumbu karang. Mungkin kesulitannya karena lokasinya berada di bawah air. Butuh usaha, biaya dan pakar untuk memetakan itu. Kami berusaha pakai citra satelit dan algoritma," ujar Fegi Nurhabni.

PBB tekan negosiatiator agar ambil kesepakatan COP29

Sekretaris Jendeal PBB António Guterres yang baru saja kembali dari KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil ikut mendesak para pemimpin G20 untuk menginstruksikan para menteri dan negosiator mereka untuk mengamankan tujuan pendanaan iklim baru yang ambisius di COP29.

"Waktu terus berjalan, COP29 hampir berakhir. Area konvergensi mulai terlihat jelas. Namun, perbedaan tetap ada. Kita perlu dorongan besar untuk menyelesaikan perdebatan, menyampaikan paket ambisius dan seimbang pada semua isu yang tertunda, dengan tujuan pendanaan baru sebagai intinya," kata Guterres.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas