Amerika Prihatin dengan Krisis Korea Selatan, Akui Lega Yoon Suk Yeol Cabut Darurat Militer
Pada pukul 22:30 malam waktu setempat, Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer dalam pidato mendalam di televisi.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
Krisis ini muncul di tengah kebuntuan politik yang sudah berlangsung berbulan-bulan.
Pemilu pada April lalu memberikan kemenangan besar kepada partai oposisi liberal, yang kini menguasai mayoritas parlemen.
Kemenangan ini menjadi referendum atas pemerintahan Yoon, yang popularitasnya terus merosot akibat berbagai skandal dan kontroversi.
Yoon, yang berasal dari kalangan konservatif, terlibat perselisihan dengan oposisi mengenai sejumlah kebijakan penting, seperti pemotongan pajak dan pelonggaran regulasi bisnis, serta upaya mereka untuk memakzulkan beberapa pejabat yang ia tunjuk, termasuk jaksa agung dan pejabat pengawas penyiaran.
Masa Depan Politik Yoon Suk Yeol
Meski darurat militer telah dicabut, masa depan presiden Yoon Suk Yeol kini terancam.
Kepala stafnya dan lebih dari sepuluh sekretaris senior presiden mengajukan pengunduran diri.
Partai oposisi mengancam akan memulai proses pemakzulan jika Yoon tidak segera mundur.
Ketua partai Yoon sendiri juga menyerukan pemecatan menteri pertahanan yang merekomendasikan darurat militer tersebut.
Bahkan serikat pekerja terbesar di Korea Selatan mengumumkan rencana mogok kerja umum tanpa batas waktu hingga Yoon mengundurkan diri.
Dengan situasi politik yang semakin memanas, banyak yang mempertanyakan apakah Yoon akan mampu bertahan atau harus menghadapi perombakan besar dalam pemerintahannya.
Kejadian ini juga mengingatkan kita pada masa kelam sejarah Korea Selatan.
Negara ini pernah berada di bawah pemerintahan otoriter yang memberlakukan darurat militer beberapa kali, terutama pada masa Perang Dingin.
Namun sejak 1980-an, Korea Selatan telah berkembang menjadi negara demokratis dengan sistem pemilu yang bebas dan adil.
Puncaknya, pada tahun 1980, Korea Selatan terakhir kali berada di bawah darurat militer selama pemberontakan yang dipimpin oleh mahasiswa dan serikat buruh.
Sejak saat itu, negara ini telah berjuang keras untuk menjaga nilai-nilai demokrasi, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasionalnya.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)