Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Israel Blokir Jalan Utama di Suriah Selatan, Sudah Serbu Gedung Pemerintahan, Warga Frustrasi

Israel dilaporkan telah memblokir jalanan utama di Suriah selatan menggunakan tumpukan tanah, pohon, hingga tiang logam.

Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
zoom-in Israel Blokir Jalan Utama di Suriah Selatan, Sudah Serbu Gedung Pemerintahan, Warga Frustrasi
Matias Delacroix/AP Photo
Kendaraan lapis baja Israel melintasi pagar keamanan dekat 'Garis Alpha' yang memisahkan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel di kota Majdal Shams pada 12 Desember 2024. 

TRIBUNNEWS.com - Pasukan Israel dilaporkan telah memblokir jalanan utama di Provinsi Quneitra di Suriah selatan.

ABC News melaporkan, pasukan Israel memblokir jalanan itu menggunakan tumpukan tanah, pohon palem yang ditumbangkan, dan tiang-tiang logam.

Di sisi seberang jalan yang diblokir, sebuah tank Israel tampak bermanuver di tengah jalan.

Sebelumnya, Israel sudah lebih dulu menguasai zona penyangga yang dijaga pasukan perdamaian PBB, Dataran Tinggi Golan.

Tapi, tak lama setelah rezim Bashar al-Assad jatuh, Israel mulai menyerang wilayah Suriah di luar zona penyangga.

Hal itu memicu protes dari warga setempat. Mereka mengatakan pasukan Israel telah menghancurkan rumah-rumah dan mencegah petani pergi ke ladang mereka di beberapa daerah.

Baca juga: Prediksi Putin Terbukti, Israel Perkuat Kehadirannya di Suriah, Patroli Pakai Kendaraan Lapis Baja

Tak hanya itu, setidaknya dalam dua kesempatan, pasukan Israel juga dilaporkan menembaki pengunjuk rasa yang mendekati mereka.

Berita Rekomendasi

Penduduk Quneitra mengaku frustrasi, baik karena keberadaan pasukan Israel maupun kurangnya tindakan dari otoritas baru Suriah dan masyarakat internasional.

Seorang penduduk, Rinata Fastas, mengatakan pasukan Israel telah menyerbut gedung-gedung pemerintahan setempat, tapi sejauh ini belum memasuki kawasan pemukiman.

Fastas mengaku khawatir pasukan Israel akan lebih maju, atau bahkan menduduki wilayah yang mereka rebut secara permanen.

Sebagai informasi, Israel hingga saat ini masih menguasai Dataran Tinggi Golan yang direbutnya dari Suriah selama Perang Timur Tengah tahun 1967 dan kemudian dianeksasi.

Masyarakat internasional, kecuali sekutu akrab Israel, Amerika Serikat (AS), menganggapnya sebagai wilayah yang diduduki.

Fastas memahami, Suriah - yang sekarang berusaha membangun lembaga-lembaga nasional dan militernya dari awal - bukanlah posisi yang tepat untuk menghadapi Israel secara militer.

Namun, ia mempertanyakan mengapa otoritas baru sama sekali tak mengambil langkah untuk mengamankan warga mereka.

"Tetapi, mengapa tidak ada seorang pun di negara Suriah baru yang berani berbicara tentang pelanggaran yang terjadi di Provinsi Quneitra dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyatnya?" tanyanya.

Netanyahu Memang Perintahkan IDF Tempati Suriah

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sendiri telah memerintahkan pasukan Zionis untuk menempati puncak Gunung Hermon dalam kunjungannya pada 17 Desember 2024.

Dalam kesempatan itu, ia menyebut kedatangannya ke puncak Gunung Hermon, penting bagi keamanan Israel saat ini.

Netanyahu menegaskan IDF akan tetap berada di puncak Gunung Hermon, sampai kesepakatan yang menjamin keselamatan Israel, bisa dibuat.

"Kami akan tetap tinggal, sampai ditemukan kesepakatan lain yang menjamin keamanan Israel," kata Netanyahu dalam kunjungannya ke puncak Gunung Hermon bersama Menteri Pertahanan, Israel Katz, dilansir AP.

Katz, di kesempatan yang sama, memerintahkan militer Israel untuk segera memposisikan diri di puncak Gunung Hermon.

Baca juga: Rute Konvoi Militer Pasukan AS di Hasakah Suriah Dibom: Peledak Ditanam, Muncul Perlawanan Baru

Ia juga meminta militer Israel untuk segera membangun benteng pertahanan, guna mengantisipasi kemungkinan tinggal dalam waktu lama di tempat tersebut.

"Puncak Hermon adalah mata negara Israel untuk mengidentifikasi musuh-musuh kami yang berada di dekat maupun jauh," ujar Katz.

Seorang pejabat militer Israel, yang berbicara dengan syarat anonim sesuai peraturan, mengatakan tidak ada rencana untuk mengevakuasi warga Suriah yang tinggal di desa-desa dalam zona penyangga.

Sebagai informasi, zona penyangga antara Suriah dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, dibuat oleh PBB setelah Perang Timur Tengah tahun 1973.

Pasukan PBB yang terdiri dari sekitar 1.100 tentara, telah berpatroli di daerah tersebut sejak saat itu.

Terkait keberadaan pasukan Israel di zona penyangga, PBB menyebut tindakan itu telah melanggar kesepakatan tahun 1974 yang membentuk zona tersebut.

Kesepakatan itu "harus dihormati, dan pendudukan adalah pendudukan, entah itu berlangsung seminggu, sebulan, atau setahun, itu tetap pendudukan," komentar Juru Bicara PBB, Stephane Dujarric.

Sehari sebelum kunjungan Netanyahu ke Puncak Hermon, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Mohammed al-Julani atau Ahmeed al-Sharaa, telah meminta Israel untuk menghentikan serangan udara dan menarik diri dari wilayah Suriah yang diduduki.

"Pembenaran Israel (menduduki Suriah) adalah karena Hizbullah dan milisi Iran. Pembenaran itu sudah tidak ada lagi," kata al-Julani dalam wawancara eksklusif dengan The Times, Senin (16/12/2024).

Permintaan itu disampaikan al-Julani yang menegaskan pihaknya tak ingin berkonflik dengan pihak manapun.

Ia juga menekankan, tak akan membiarkan Suriah menjadi landasan serangan terhadap Israel ataupun negara manapun.

"Kami tidak akan membiarkan Suriah digunakan sebagai landasan peluncuran serangan."

"Rakyat Suriah butuh istirahat, dan serangan harus dihentikan. Israel harus mundur ke posisi sebelumnya," tegas dia.

Tumbangnya Rezim al-Assad

Diketahui, rezim Presiden Suriah, Bashar al-Assad, tumbang setelah puluhan tahun berkuasa, pada 7 Desember 2024, ketika ibu kota Damaskus jatuh ke tangan oposisi.

Kelompok oposisi bersenjata terlibat dalam perjuangan panjang dalam upaya menjatuhkan rezim al-Assad, dikutip dari Middle East Monitor.

Setelah bentrokan meningkat pada 27 November 2024, rezim al-Assad kehilangan banyak kendali atas banyak wilayah, mulai Aleppo, Idlib, hingga Hama.

Akhirnya, saat rakyat turun ke jalanan di Damaskus, pasukan rezim mulai menarik diri dari lembaga-lembaga publik dan jalan-jalan.

Sementara, kelompok oposisi mempererat cengkeraman mereka di pusat kota.

Dengan diserahkannya Damaskus ke oposisi, rezim al-Assad selama 61 tahun resmi berakhir.

Al-Assad bersama keluarganya diketahui melarikan diri dari Suriah, usai oposisi menguasai Damaskus.

Rezim al-Assad dimulai ketika Partai Baath Sosialis Arab berkuasa di Suriah pada 1963, lewat kudeta.

Pada 1970, ayah al-Assad, Hafez al-Assad, merebut kekuasaan dalam kudeta internal partai.

Setahun setelahnya, Hafez al-Assad resmi menjadi Presiden Suriah.

Ia terus berkuasa hingga kematiannya di tahun 2000, yang kemudian dilanjutkan oleh al-Assad.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas