Inilah Beratnya Tekanan Psikologis Menabrak Orang Hingga Tewas
Inilah gambaran beratnya beban psikologis seorang pengemudi yang menabrak orang lain hingga tewas.
Penulis: Agustina Rasyida
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Agustina Rasyida
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
Betapa berat beban psikologis seorang pengemudi yang menabrak orang lain hingga tewas di jalan raya.
Saking beratnya, ini menimbulkan depresi dan trauma berkepanjangan sepanjang hidupnya.
Bagi pelaku, tak hanya mendapatkan sanksi hukum dan "hukuman" masyarakat, tetapi juga tekanan psikologi, persis dialami Rasyid Radjasa, putra bungsu Menko Perekonomian Hatta Radjasa.
Menurut Lia Sutisna Latif, M.Psych., Psych, staf bagian Psikologi Forensik STIK-PTIK, pengalaman traumatik pada individu yang terlibat dalam kasus kecelakaan, saksi kasus pembunuhan, korban tindak kriminalitas (korban perampasan, pencurian, penjambretan, perampokan) biasanya menggambarkan dinamika psikologis yang hampir sama, (berbeda dengan kasus pemerkosaan), yakni stres.
"Ketika stres menjadi berkepanjangan dan si individu kesulitan mencari solusi yang tepat untuk dirinya, akan berakibat depresi," ujar Lia kepada Tribunnews.com, Rabu (2/1/2012).
Individu yang depresi akan ditangani untuk mengevaluasi dan mengobservasi. Dengan tujuan, mengindikasikan apakah depresi beranjak dari level ringan ke berat atau tidak. Sedangkan untuk pemulihannya, tergantung seberapa besar insiden yang dilalui.
Tingkat stres atau depresi individu yang menabrak tiang listrik dan mobil peyok akan lebih mudah memulihkan kondisi psikologis, daripada orang terlibat kecelakaan hingga menyebabkan nyawa orang lain melayang. Terlebih jika insiden tersebut merupakan insiden paling buruk pertama yang dialaminya.
Kondisi psikologis ini dapat berimbas pada penerimaan diri (self acceptance) pelaku yang menentukan pemulihannya. Seperti pelaku bisa menerima kenyataan bahwa ia bersalah sebagai pelaku, mengetahui bagaimana cara mengatasi, dan siap menerima resiko sosial.
Selain itu, kondisi ini juga mengakibatkan pelaku menarik diri (withdrawl) dari sosial karena masih adanya rasa ketakutan dalam dirinya pasca insiden, hypersensitivity terhadap perasaan dirinya dan orang lain (cemas, takut, sedih, kecewa, rasa bersalah yang berlebihan), bisa juga perasaan marah karena tidak ada penerimaan dirinya dan kurangnya dukungan sosial, keluarga yang teralu over-blame terhadap dirinya.
"Pelaku kurang tertarik dengan dunia sekitar, biasanya hobi mengulik mobil tiba-tiba hilang begitu saja, nafsu makan berkurang, insomnia, bisa juga malah menjadi pecandu alcohol atau obat obatan sebagai pengalihan dan mengurangi rasa sakit terhadap dirinya, atau bahkan hyper arousal, misalnya ketika ia melihat jalan tol dan mobil, ia bisa saja berteriak-teriak karena teringat insiden yang menjadi pengalaman traumatiknya," jelas Lia.
Sehingga dukungan keluarga sangatlah berperan tinggi dalam membantu pemulihan individu yang sedang mengatasi dirinya. Penanganan lain adalah tindakan CIC (Critical Incident Counseling) yang tepat dilakukan terhadap individu pasca kejadian.
Pertama pengasingan pelaku selama 72 jam untuk menghindari kontak dengan tempat kejadian dan sebagai fase "menunggu" pelaku untuk diajak bicara sebelum diberi intervensi.
"Ini juga sebagai upaya agar individu tidak banyak mendengar anggapan sosial yang akan membuat psikologis individu menjadi efek yang berat. Ketika si individu sudah siap, pihak polisi perlu memanggil tenaga professional seperti psikolog dan psikiater untuk evaluasi dan intervensi lebih lanjut," tandasnya.
Baca Artikel Menarik Lainnya