Indonesia Nomor Dua Tertinggi Dalam Hal Pernikahan Remaja
UNICEF Indonesia mencatat, pada tahun 2012 satu dari empat anak perempuan di Indonesia sudah menikah sebelum mereka berusia 18 tahun
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Gibran Linggau/Kompas.com
TRIBUNNEWS.COM - Perkawinan dan kehamilan remaja perempuan masih menjadi masalah besar di dunia, khususnya di negara berkembang.
Indonesia bahkan menempati urutan kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Kamboja dalam jumlah perkawinan remaja.
UNICEF Indonesia mencatat, pada tahun 2012 satu dari empat anak perempuan di Indonesia sudah menikah sebelum mereka berusia 18 tahun, atau sekitar 26 persen.
Perkawinan dan kehamilan remaja mengandung sejumlah risiko dalam jangka panjang.
"Perempuan berusia 16 tahun belum siap dari segi kesehatan mau pun mentalnya untuk menikah," kata Benny Prawira, ketua peneliti film dokumenter “Dampak Buruk Perkawinan Usia Anak di Indonesia” dalam acara diskusi yang diadakan oleh Aliansi Remaja Indonesia (ARI) di Jakarta (12/12/15).
Benny mengatakan, dari sisi kesehatan reproduksi, remaja yang menikah dan hamil memiliki risiko negatif yang lebih besar.
"Meskipun anak tersebut sudah menstruasi, sudah mengeluarkan ovum, bukan berarti mereka sudah siap untuk menikah. Mereka terlalu muda untuk hamil dan ukuran pinggangnya masih kecil untuk melahirkan normal,” ujarnya.
Selain itu, kehamilan dan persalinan bagi perempuan berusia kurang dari 20 tahun beresiko kematian yang lebih tinggi. Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia.
Remaja juga masih berada dalam tahap tumbuh kembang sehingga jika mereka hamil, mereka bisa kekurangan gizi. Anak yang dilahirkan juga memiliki risiko memiliki status gizi yang rendah.
Perkawinan remaja juga bisa mengganggu kesehatan mental karena mereka harus mengembang tanggung jawab besar membina rumah tangga.
"Anak-anak yang masih muda ini masih dalam tahap mengeksplorasi diri dan mencari identitas mereka. Yang paling dikhawatirkan adalah adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga," katanya.
Perkawinan di usia remaja juga menghambat perempuan menempuh pendidikan tinggi dan juga pekerjaan yang baik. "Sehingga nantinya timbul kemiskinan-kemiskinan yang baru,” ujar Benny.
Ada banyak faktor yang mendasari tingginya angka perkawinan di kalangan remaja. Salah satunya adalah masalah kemiskinan.
Sementara itu The Population Council (2009) menemukan bahwa putus sekolah yang dialami remaja menjadi penyebab perkawinan dan kehamilan dini.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan 16 tahun telah didesak untuk direvisi karena dampaknya yang sangat merugikan anak.
Sejumlah pihak yang peduli pada hak perempuan telah mengajukan permohonan revisi batas usia kawin menjadi 18 tahun.