Skizofrenia Tak Menghalangi Dwinanda Untuk Berkarya
Orang dengan Skizofrenia seringkali diabaikan. Padahal hidup mereka bisa menjadi produktif dan mandiri, asalkan ditangani dengan pengobatan yang tepat
TRIBUNNEWS.COM – Orang dengan Skizofrenia seringkali diabaikan. Padahal hidup mereka bisa menjadi produktif dan mandiri, asalkan ditangani dengan pengobatan yang tepat dan mendapatkan dukungan keluarga.
Seperti yang dialami Dwinanda Agung Kristianto. Lewat ratusan karya seninya, dia membuktikan seorang Skizofrenia bisa meraih prestasi.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
Di perumahan elit Cibubur, Jakarta Timur, terlihat rumah berlantai dua yang disesaki bermacam karya seni, yang kebanyakan lukisan abstrak. Satu lukisan berjudul ‘Jendela’ terpajang di ruang tamu.
Lukisan tersebut terlihat tak lazim, karena lukisan itu mediumnya papan tulis hitam berbentuk persegi.
Dibagian tengah, terdapat goresan dari kapur berbentuk jendela, disisi kanannya terdapat sebuah tangga yang mengarah pada pintu.
“Itu pintu, ada tangga, menggambarkan pengalaman saya untuk pulih itu nggak mudah, harus tekun setiap anak tangga, sampai ke pintu oh saya sekarang saya tahu, diri saya. Saya Skizofrenia. Itu ada botol gelas, minum, itu ingatan saya saat psikiater bilang untuk menghilangkan efek obat banyakin minum,” terang Dwinanda.
Ya, pria berusia 33 tahun itu menderita Skizofrenia, gangguan mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.
Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini kerap diartikan sebagai gangguan mental lantaran sulitnya penderita membedakan antara kenyataan dengan pikiran sendiri.
Pada Dwinanda, gejala skizofrenia itu sudah muncul 2005 silam.
“2005 keluarga terdekat merasa ada sesuatu kurang beres. Karena saya banyak ngomong, dan mulai keluar kata-kata yang tidak dimengerti keluarga terdekat. Saya dianjurkan untuk mendapt lawan bicara yang bisa menangkap apa yang saya utarakan. Saya pernah ke konselor, pendeta, tapi mereka tidak menemukan sesuatu yang serius, tidak ada guna-guna, atau apalah,” ungkap Dwinanda.
Tapi disaat itu, keluarganya tak langsung memboyong Dwinanda ke dokter. Keluarga, masih menduga dirinya diguna-guna sehingga kerap dibawa ke pendeta.
Barulah pada 2006, ia divonis pskiater positif Skizofrenia.
“Saya didiagnosa Juni 2006. Baru psikiater, setelah dua keahlian sama konselor, pendeta, tidak menemukan apa-apa, ya mungkin ada kerusakan di otak. Di Psikiaterlah, diskusi-diskusi, baru 2006 didiagnosa skizofrenia,” kata Dwinanda.
Dampak lanjutan dari penyakit itu, tambah Dwinanda, seluruh panca indranya lumpuh.
“Akhirnya saya sampai pada kondisi panca indra saya tidak berfungsi. Mata saya burem, saya tidak bisa merasakan ayam bakar, pendengaran saya berkurang, mulut saya kaya di lakban, kaku. Tangan saya kesemutan,” jelas Dwinanda.
Dwinanda juga menulis semua pengalamannya sebagai seorang skizofrenia ke dalam sebuah buku milikinya. Menurut Dwinanda, dengan menulis, ia merasa lebih plong, sebab bisa mengeluarkan kepenatan maupun delusi yang ada di pikirannya.
Pernah suatu kali, ia mendengar bisikan-bisikan yang menyuruhnya membunuh semua keluarganya. Dia juga menyakini dirinya adalah raja iblis.
“Saya tidak tahu itu delusi atau apa, pokoknya saya tulis untuk meringankan ruwetnya kata-kata bermunculan di benak saya, itu jadi bundle sendiri, dari situ jadi bahan analisis konselor, psikiater. Jadi waktu itu saya nggak sebagai penderita tidak tahu ada delusi halusinasi, mengalir saja menulis. Tapi orang disekitar saya yang tahu,” ujar Dwinanda.
Tak hanya menulis, Dwinandananda juga menyalurkan segala pengalaman Skizofrenianya dengan melukis. Di sebuah kertas HVS, coret-coretan pulpen tak berbentuk memenuhi kertas. Coretan itu, ia sebut sebagai dopamine.
Lukisan abstrak lain dipadu dengan menempel beberapa botol obat bekas di bagian bawah. Dwinanda bercerita, lukisan itu mengingatkannya ketika fase pengobatan yang selalu gonta-ganti obat.
Ratusan lukisannya itu disimpan di galerinya, Ruang Seni AGO (RSA). Galeri yang menyatu dengan tempat tinggalnya, disebut sebagai ruang olah jiwa, pemikiran, dan seni.
Pada tahun 2011, Dwinanda bisa kembali hidup normal, beraktivitas seperti biasa. Tapi hal itu tak lepas dari dukungan keluarga, terutama Ayahnya Hadidarmono.
“Dibantu dengan arti kita berikan suatu dorongan. Mengingatkan. Karena suka diam. Terus ya karena diam, saya ajak ngobrol, ajak jalan-jalan. Terus ajak nonton, ke toko buku. Saya temanin, awal-awal susah,” ungkap Hadidarmono.
Adi Prasetyo, dari Komunitas Peduli Skizofernia Indonesia juga mengutarakan hal yang sama. Kesembuhan total seorang Skizofrenia tidak akan tercapai jika tak ada dukungan orang sekitar.
“Kalau tidak peka terhadap hal-hal semcam ini, keluarga tidak peka dan tidak mendapatkan pertolongan medis, wah bisa membahayakan teman dan keluarganya. Oleh karena itu kami berharap peran keluarga peka terhadap gejala yang dialami anggota keluarganya, yang diduga mengalami gangguan jiwa berat,” kata Adi.
Sementara Dwinanda punya rencana untuk menggelar pameran tunggal tahun depan.
“Beberapa lukisan memang saya simpan untuk pameran tunggal, Jejak Waktu. 2017 mungkin. Jadi saya biarin berdebu banget, pas saki semua. Jejak Waktu entah itu ada tai cicak di situ, biarin aja, nanti kita pamerin,” ungkap Dwinanda.
Penulis: Eli Kamilah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)