Sisa Vaksin Difteri Hanya Sampai Akhir 2017, Bagaimana Bisa Mencukupi ORI? Ini Penjelasan Menkes
(ORI) terkait ancaman difteri yang digelar serentak pada hari ini, Senin (11/12/2017) rupanya terkendala dengan persediaan vaksin difteri.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Outbreak Response Immunization (ORI) terkait ancaman difteri yang digelar serentak pada hari ini, Senin (11/12/2017) rupanya terkendala dengan persediaan vaksin difteri.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila Moeloek meminta PT Biofarma mempercepat produksi vaksin, yakni DPT-HB-Hib, DT dan Td, sebab stok vaksin hanya cukup hingga tahun 2017.
"Kami kemarin sore rapat dengan Biofarma, ketersediaan vaksin untuk sisa tahun 2017 ini mencukupi untuk ORI. Kami meminta untuk segara dibuat lagi sehingga Januari 2018 bisa mulai (ORI) lagi," dalam siaran tertulis pada Minggu (10/1/2017).
Walau begitu, guna menekan penyebaran difteri, pihaknya menggelar ORI secara bertahap di tiga provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sejak Senin (11/12/2017) hingga Januari dan Juli 2018.
Baca: Derita Sobari Dikucilkan Warga Setelah Cucunya Meninggal karena Difteri
"Kita fokus kepada tiga provinsi dulu. Kami meminta Biofarma membuat vaksin ini lebih dipercepat. Jadi tahun 2017 untuk ketersediaan vaksin, kami meminta untuk lebih difokuskan," jelasnya.
Imunisasi difteri, lanjutnya, dapat diberikan kepada balita berusia dua hingga empat bulan, kemudian diberikan kembali saat balita berusia 18 bulan.
Selanjutnya imunisasi diwajibkan untuk kembali diberikan saat anak berusia tujuh tahun dan delapan tahun serta 11 tahun.
"Ini akan kami lakukan, dan saat ini pengulangan akan dilakukan kepada anak-anak yang berusia 1 sampai 18 tahun," ungkapnya.
Gap Imunisasi
Selain itu, Menkes menjelaskan perbedaan imunisasi difteri dan campak.
Imunisasi campak akan memberikan imunitas pada tubuh dengan menetap, berbeda dengan imunisasi difteri yang hanya memberikan imunitas sementara.
Oleh karena itu, imunisasi difteri harus dilakukan secara berulang.
"Kami mencoba lakukan penelitian antibodi masyarakat, ternyata memang rendah, hanya mencapai sekitar 60 %. Saya kira ini membuktikan bahwa telah terjadi gap imunisasi di masyarakat. Dan memang setelah kita coba melihat orang yang tidak punya antibodi mungkin salah satunya karena penolakan atau tidak lengkapnya melakukan imunisasi," tambahnya.
Lebih lanjut diungkapkannya, ORI merupakan program Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, maka imunisasi diberikan secara gratis di Puskesmas.
"Masyarakat terutama orangtua di wilayah yang akan dilakukan ORI diharapkan memanfaatkan kesempatan ini untuk memberikan imunisasi difteri," imbuhnya.
Terpisah, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Mohamad Subuh mengatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan World Health Organization (WHO) di India dan Geneva dalam penyediaan vaksi difteri ADS. WHO katanya telah bersedia membantu dalam penyediaan vaksin tersebut.
"ADS lebih berperan untuk menurunkan membran putih, biasaya dalam waktu tiga sampai lima hari bisa turun. Selain ADS, perlu antibiotik terutama bagi orang yang dekat dengan penderita," jelasnya.