Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Stunting dan Gizi Buruk Tantangan Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Pemerintah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani di tahap awal, dan kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Stunting dan Gizi Buruk Tantangan Mewujudkan Indonesia Emas 2045
Humas Polda Papua
Satgas Terpadu Kemanusian mengevakuasi 14 orang penderita gizi buruk dan campak ke RSUD Agats dari Distrik Atsj Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (19/1/2018). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Badan Kesehatan Dunia  (WHO) telah  menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20% atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.

Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6%. Sebanyak 18,5% kategori sangat pendek dan 17,1% kategori pendek. Ini juga yang mengakibatkan WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk.

Stunting tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah dengan jumlah mencapai 16,9% dan terendah ada di Sumatera Utara dengan 7,2 persen.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal 32,9 % turun menjadi 28 % pada tahun 2019.

Untuk pengurangan angka stunting, pemerintah juga telah menetapkan 100 kabupaten prioritas yang akan ditangani di tahap awal, dan kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya.

Dr. Damayanti Rusli S, SpAK, Phd, anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP IDAI, mengatakan stunting disebabkan oleh mal nutrisi, yaitu kondisi anak kekurangan gizi atau kelebihan gizi. Mal Nutrisi yang terjadi pada masa 1.000 hari pertama kelahiran dapat berdampak permanen terhadap anak.

Anak yang terkena gizi buruk perkembangannya terhambat dan kemampuan kognitifnya berkurang 10 persen.

Berita Rekomendasi

Baca: RSUD Penuh, Pasien Gizi Buruk Dirawat di Garasi Ambulans

“Gizi buruk pada anak dimulai dari berat badan yang kurang yang terlihat pada masa 1.000 hari pertama kelahiran, Ibu harus peka untuk mendeteksi perubahan berat badan anak. Sebab, jika tidak segera di atasi, dapat mengakibatkan dampak yang permanen pada anak karena mengganggu perkembangan otak, saat dewasa, anak-anak dengan gizi buruk tidak dapat
seproduktif anak-anak lainnya.” Jelas Dr. Damayanti.

Pencegahan gizi buruk harus dilakukan sejak dini, melalui ASI dan MPASI yang tepat untuk anak. Karbohidrat, lemak dan protein adalah 3 zat utama yang dibutuhkan anak untuk perkembangan otaknya.

“Ada kalanya ibu tidak bisa memberikan ASI yang cukup kepada anak atau ASI ibu kurang, maka
anak dapat diberikan susu yang sudah di formulasi khusus untuk anak yang dalam standar pembuatannya telah dinyatakan aman untuk anak dalam hal ini mendapat izin edar dari BPOM. Susu kental manis, sudah mendapat izin edar dari BPOM, tapi produk ini bukan untuk anak. Susu kental manis adalah untuk bahan makanan. Jika diberikan kepada anak anak berbahaya,” katanya.

Dr Damayanti menyinggung ditemukannya balita yang menderita gizi buruk di Kendari, Dr. Damayanti meminta agar ke depan produk makanan minuman yang bukan untuk bayi dan anak jangan dipasarkan untuk bayi dan anak.

"Tugas dari produsen adalah menjelaskan bagaimana pemakaian yang seharusnya kepada masyarakat. “Kasus-kasus gizi buruk seperti ini, sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah, namun di kota-kota besar seperti Jakarta juga banyak,” ujar Damayanti.

Senada dengan Dr Damayanti, Anggota DPR Komisi IX Siti Masrifah mengatakan peraturan tentang peredaran makanan dan minuman terutama untuk anak-anak sudah ada. Yang perlu diawasi dengan lebih ketat adalah penerapannya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas