YLKI Temukan Informasi tentang Penggunaan Pemanis Buatan kepada Masyarakat Masih Minim
Pemanis buatan merupakan golongan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak memiliki nilai gizi apapun.
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Magang Meliana
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seiring berkembangnya zaman, mulai dikembangkanlah sumber pemanis lain yang diciptakan atau disintetik dari bahan kimia untuk menciptakan rasa manis yang sama dengan pemanis alami.
Menyikapi hal itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Maret sampai April 2019 telah melakukan survey kepada 90 orang responden, yang terdiri dari 30 ibu hamil, 30 ibu menyusui dan 30 ibu yang mempunyai anak balita di wilayah Jakarta Selatan.
Baca: Kapolsek Menes Ceritakan Detik-detik Penusukan Wiranto: Pelaku Perempuan Tusuk Saya Dari Belakang
"Mayoritas responden survey 90 persen pernah mendengar istilah pemanis buatan, tetapi mayoritas mempersepsikan sebagai pengganti gula atau biang gula 45 persen dan sebanyak 96 persen responden survei tidak mengetahui nama-nama jenis pemanis buatan," jelas Natalya Kurniawati Staff Peneliti YLKI saat mengadakan Press Conference Jumat (11/10/2019).
Pemanis buatan merupakan golongan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak memiliki nilai gizi apapun.
Sehingga, seringkali diklaim lebih aman bagi mereka yang ingin menikmati rasa manis tanpa mengkhawatirkan kelebihan kalori.
"Bahkan dari 90 persen responden survei hanya 4 persen nama-nama pemanis buatan yang diketahui, Siklamat, Aspartam, Sakarin, Xilotol dan Sukralosa jenis pemanis yang mereka tahu," ucap Natalya.
Natalya mengungkapkan sumber utama responden memperoleh informasi terkait pemanis buatan dari teman atau keluarga dan media sosial.
Bahkan konsumen minim mengetahui informasi adanya pemanis buatan dari label produk maupun tenaga kesehatan.
Hasil survei menunjukkan sebanyak 51 persen konsumen jarang membaca informasi terkait pemanis buatan.
Kendati konsumen yang disurvei pernah membaca penandaan adanya pemanis buatan pada label pangan, mereka menyimpulkan bahwa penandaan tersebut tidak efektif.
"Konsumen mengeluh bahwa tulisan terlalu kecil, tulisan tercetak samar-samar, tulisan tersembunyi, tidak ditandai secara khusus, tulisan tidak terbaca, penempatan info penting yang dianggap tidak penting, tulisan terselip di lipatan kemasan dan terkesan tidak niat membuat penandaan," ujar Natalya.
Sementara itu, Ketua YLKI Tulus Abadi menuturkan ada aspek pengendalian dan pembatasan yang digunakan dalam mengkonsumsi pemanis buatan terdapat dalam Permenkes No 33 tahun 2012 khususnya untuk konsumen tertentu, minimal ada tiga yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan anak balita.
"Peringatan kesehatan yang sangat minim dan tidak informatif, Kami menduga pesan kesehatan tidak sampai. Akhirnya banyak ibu hamil dan menyusui serta anak balita menkonsumsinya," ucap Tulus.
BPOM diharapkan lebih proaktif dalam menegakkan pengawasan karena regulasinya sudah ada.
"Pre Market Control sudah dibentuk oleh pemerintah tetapi penerapan push market control-nya seperti apa," ujarnya.
Maka rekomendasi dari YLKI adalah pemerintah melalui BPOM dan Kementrian Kesehatan harus bertanggung jawab menyampaikan informasi kepada konsumen dalam kategori rentan agar dapat memahami maksud dari peringatan kesehatan yang tercantum pada label serta dilakukan pengawasan.
Baca: Denmark Open 2019: Prannoy Mundur, Siapa yang Jadi Lawan Anthony Ginting di Babak Pertama?
Natalya mengatakan hanya dua dari 13 pelaku usaha yang mewakili seluruh sampel produk yang memberikan tanggapan melalui contact center konsumen sedangkan sisanya tidak menjawab bahkan banyak nomor yang tidak aktif.
Pelaku usaha agar memberikan informasi yang jelas pada label pangan sehingga tidak terjadi asimetris informasi dimana terdapat info penting yang tersembunyi di balik bombastisnya klaim pada produk pangan.