ODHIV Terpaksa Pinjam Obat Pasien Lain karena Stok ARV Terbatas
ARV krusial bagi seorang ODHIV dan ODHA. Obat ini bisa mencegah virus HIV berkembang dan mengurangi risiko penularan
Editor: Deodatus Pradipto
Toksisitas Rendah, tapi Manjur
ODHIV dan ODHA tidak hanya mengeluhkan ketersediaan ARV di Indonesia. Mereka juga meminta pemerintah memastikan kandungan yang terdapat pada ARV karena obat itu adalah satu-satunya obat yang memiliki toksisitas tinggi.
Aditya mengatakan karena respons tubuh yang berbeda-beda, ada ODHA yang mengalami keracunan obat. Untuk meminimalisasi hal tersebut, maka dibutuhkan obat bertoksisitas rendah, namun tingkat kemanjurannya tinggi.
Efek samping ARV ternyata juga membuat ODHA malas meminum obat. Hal ini bertolak belakang dengan efek positif yang ditimbulkan ARV, yaitu menjaga sistem kekebalan tubuh. Hal lain yang membuat ODHA/ODHIV malas minum obat adalah tahapan-tahapan yang harus mereka jalani untuk mengambil obat. Tahapan administrasi yang panjang tersebut juga membutuhkan biaya besar.
"Mereka mengambil di tempat yang mudah mendapatkan diskriminasi. Ditambah malas minum obat karena obat meninggalkan efek samping karena toksisitasnya," kata Aditya.
Sepi Maulana Ardiansyah, seorang ODHIV, mengaku tidak pernah memiliki masalah dalam mendapatkan ARV. Davi, sapaannya, mengonsumsi ARV jenis Efavirenz dan Duviral Lamivudine Zidovudine.
Davi mendapatkan obat-obatan itu secara cuma-cuma alias gratis. Namun demikian, Davi harus membayar biaya administrasi sebesar Rp80.000,-. "Aku dapat di Klinik Carlo, Rumah Sakit Sint Carolus. Gratis," ujar Davi kepada Tribun Network di Jakarta, Selasa (26/11).
Pria yang aktif sebagai relawan di Perkumpulan Inti Muda Indonesia itu mengatakan ketersediaan ARV di wilayah Jabodaetabek tergolong aman. Namun demikian, ODHIV dan ODHA harus menerima obat pecahan atau ARV yang jenisnya berbeda-beda.
"Ada info di daerah sedang stock out untuk beberapa jenis ARV," kata Davi.