Anak dengan HIV Minum ARV untuk Dewasa karena Perusahaan Farmasi Tak Tertarik Impor
Natasya mengatakan ketidaksesuaian dosis obat yang digerus dapat memberikan efek samping yang lebih besar kepada anak dibandingkan orang dewasa
Editor: Deodatus Pradipto
Laporan wartawan Tribun Network Apfia Tioconny Billy dan Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permasalahan HIV/AIDS di Indonesia tidak sebatas dialami oleh orang dengan HIV dan orang dengan AIDS dewasa. Anak-anak dengan HIV dan AIDS juga mengalami permasalahan. Permasalahan yang mereka adalah ketersediaan obat antiretroviral (ARV) untuk anak-anak di Indonesia.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan ketersediaan ARV untuk anak di Indonesia masih minim. Anung mengatakan keterbatasan ketersediaan ARV itu terjadi karena jumlah anak dengan HIV di Indonesia sedikit. Perusahaan farmasi yang produksi ARV untuk anak tidak tertarik mengimpor ke Indonesia.
"Misalnya beli untuk 200 anak. Tidak ada yang bisa impor karena untuk mengimpor itu harus beli ribuan," ujar Anung di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Anung menegaskan persoalannya bukan hanya obat ARV untuk anak. Persoalannya adalah tingkat kebutuhan masyarakat tidak menjanjikan di mata importir. Kaitannya adalah hal ekonomi.
Ketiadaan ARV untuk anak membuat anak-anak dengan HIV harus mengonsumsi ARV untuk dewasa. Biasanya anak-anak dengan HIV mengonsumsi ARV yang digerus agar sesuai takaran yang dianjurkan untuk mereka. Permasalahannya adalah perawat anak dengan HIV belum tentu bisa menakar dosis yang tepat sebelum memberikan ARV ke anak tersebut.
Permasalahan ini terkait dengan fakta banyak anak dengan HIV berstatus yatim piatu. Orangtua mereka meninggal dunia karena AIDS, lalu mereka dirawat oleh kakek dan neneknya. Kondisi kakek dan nenek yang telah lanjut usia seringkali membuat mereka sulit membaca keterangan yang tertera di botol ARV.
"Pecahnya itu digerus, dipotong dan sebagainya. Siapa yang pernah tahu apakah obat-obat yang digerus dan dipotong itu dosisnya sesuai dengan dosis anak-anak. Selain itu, siapa yang bisa memastikan tanggal kedaluwarsanya? Apakah kakek, nenek, ibu bisa melihat obat-obat yang diracik yang digerus itu masih lama kedaluwarsanya," ujar Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi Natasya Sitorus kepada Tribun Network di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Natasya mengatakan ketidaksesuaian dosis obat yang digerus dapat memberikan efek samping yang lebih besar kepada anak dibandingkan orang dewasa. Menurut Natasya ARV yang digerus tidak dibuat untuk anak meski digerus sebelum dikonsumsi.
"Kita paling sering menemukan kasus ruam pada anak-anak yang minum obat diracik dipotong dan sebagainya," tutur Natasya.
Natasya mengatakan ARV untuk anak tidak selalu harus dalam bentuk sirup. Beberapa jenis ARV dapat dilarutkan, namun pelarutnya harus mengandung alkohol sebesar 40 persen. Namun demikian, menurut Natasya ini bukan hal yang baik untuk anak-anak.
"Bayangkan meminum alkohol 40 persen dua kali sehari seumur hidup mereka sewaktu kecil. Apa yang akan terjadi," kata Natasya.
Oleh karena itu, Natasya mendesak Kementerian Kesehatan untuk menyediakan ARV untuk anak. Tujuan dari ketersediaan ini adalah memastikan anak mendapatkan dosis yang tepat dan mencegah efek samping dari konsumsi ARV yang lebih besar.
"Seharusnya yang disediakan adalah ARV yang memang dalam dosis yang lebih kecil sehingga memudahkan anak untuk minum. Tidak perlu lagi dipotong, tidak perlu lagi digerus dan sebagainya," ujar dia.
Kondisi di lapangan, yaitu anak-anak dengan HIV mengonsumsi ARV untuk dewasa, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Anung Sugihantono. Namun demikian, Anung mengklaim manfaat ARV untuk dewasa yang dipotong untuk anak-anak sama untuk anak-anak dengan HIV.
"Pasti sama karena isinya sama. Hanya presisi dari dosis yang ada itulah yang harus disempurnakan ke depan, baik cara memotong atau menyediakan untuk anak agar anak mau minum," kata Anung.
Natasya Sitorus mengatakan yang sebaliknya. Menurut dia konsumsi ARV dewasa untuk anak sama sekali tidak ada dampak baiknya. "Karena obat apapun, bahkan selain ARV, kalau tidak ada garis potongnya, sebenarnya tidak boleh dipotong," ujar Natasya.
Di Indonesia sebenarnya tersedia ARV untuk anak jenis sirup yaitu Zidovudine (ZDV). Ketersediaannya hanya nol bulan atau jumlahnya sesuai kebutuhan bulan itu saja.
Dari data Kementerian Kesehatan, saat ini ketersediaan ZDV mencapai 40.000 botol. Sebanyak 30.000 botol telah didistribusikan pada Oktober lalu. Menurut Anung saat ini pemerintah sedang berupaya agar industri farmasi dalam negeri bisa memproduksi obat-obat yang kebutuhannya masih terbilang jarang.
Menurut Natasya Sitorus jumlah permintaan ARV untuk anak yang sedikit membuat Kementerian Kesehatan enggan mengeluarkan uang khusus untuk obat anak. Dia mengatakan jumlah kasus anak dengan HIV yang hanya tiga persen di Indonesia menjadi pemicu utama Kementerian Kesehatan tidak ingin mengeluarkan uang untuk menyiapkan stok ARV pediatric.
"Kalau merujuk dari pendapat orang-orang di Kemenkes, mereka bilang ya seperti itu karena harganya mahal tidak mungkin mengeluarkan uang khusus untuk beli obat untuk anak yang jumlahnya hanya tiga persen," ujar Natasya.
Natasya mengaku tidak mengetahui apakah harga ARV anak itu lebih mahal atau tidak dari ARV biasa. Namun demikian, satu hal yang jelas adalah karena jumlah permintaan sedikit, maka dari pasarnya sendiri harganya akan mahal.
Lebih lanjut, Natasya berpendapat kalau Kemenkes menyiapkan stok terlalu banyak, justru membuat sebagian besar obat tersebut menjadi terbuang sia-sia karena kedaluwarsa.
"Terus kalau kita belinya terlalu banyak, dengan harga yang lebih murah, tidak mungkin kita biarkan sebagian besar obat itu terbuang expired karena kebutuhannya cuma sedikit," ujar Natasya.