Pengamat: Perlu Kajian Ilmiah untuk Luruskan Informasi Keliru Produk Tembakau Alternatif
Informasi yang simpang siur terhadap produk ini muncul lantaran belum banyak kajian ilmiah lokal.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Misinformasi dan silang pendapat kerap terjadi di publik tentang produk tembakau alternatif.
Hal tersebut disinyalir karena belum masifnya penelitian lokal mengenai produk hasil pengembangan inovasi, sains dan teknologi tersebut.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengemukakan pentingnya peran kajian ilmiah untuk meluruskan informasi keliru atas produk tembakau alternatif.
Baca juga: Pemerintah Diminta Kaji Lagi Soal Penyederhanaan Tarif Cukai Tembakau, Ini Alasannya
Informasi yang simpang siur terhadap produk ini muncul lantaran belum banyak kajian ilmiah lokal.
“Basis risetnya minim kemudian yang berkembang lebih ke asumsi yang sifatnya hipotesis tak teruji. Kajian ilmiah akan sangat signifikan meluruskan informasi keliru dan meredakan asumsi sekaligus memberikan stigma positif,” tegasnya.
Trubus melanjutkan, informasi keliru tersebut umumnya menilai produk tembakau alternatif sama berbahayanya dengan rokok.
Oleh karena itu, kajian ilmiah harus segera direalisasikan.
“Sangat mendesak terkait sisi aspek dampak kesehatannya. Selama ini ada kecurigaan bahwa produk ini sama dengan rokok, padahal dalam praktiknya beda. Jadi perlu riset untuk membuktikan kebenarannya,” terang Trubus.
Baca juga: Penyederhanaan Cukai Dikhawatirkan Merusak Struktur Industri Hasil Tembakau
Hal serupa disampaikan Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Amaliya.
Dalam forum Scientific Summit ke-3 yang diselenggarakan secara daring pada 24-25 September 2020 lalu, Ia mengatakan informasi yang keliru terhadap produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan maupun rokok elektrik, masif berkembang.
Padahal, produk ini merupakan inovasi yang dilandasi bukti ilmiah yang berpotensi memberikan alternatif bagi perokok dewasa dengan pendekatan pengurangan risiko dibandingkan terus merokok yang terbukti secara ilmiah lebih berbahaya.
“Banyak hoax yang sangat berbahaya, dan kami mencoba meluruskan misinformasi tersebut dengan secara aktif melakukan penelitian dan mempublikasikan hasilnya kepada publik. Tujuannya adalah memberikan fakta yang benar dan bermanfaat bagi berbagai pemangku kepentingan,” ujar Amaliya.
Untuk meminimalisir informasi yang keliru terhadap produk tembakau alternatif, Amaliya mendorong pemerintah Indonesia turut melakukan kajian ilmiah yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
Hasil dari riset tersebut dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk menyampaikan informasi yang akurat mengenai produk tembakau alternatif serta mengatur melalui regulasi yang proporsional sesuai dengan risiko produk, agar perokok memiliki opsi untuk beralih.
Sebagai langkah awal, YPKP bersama Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) telah menyampaikan hasil-hasil riset produk tembakau alternatif kepada pemerintah.
Pada akhirnya, Amaliya berharap kajian tersebut dapat menjadi landasan dalam perumusan kebijakan yang sesuai untuk produk tembakau alternatif, khususnya membedakan aturannya dengan rokok.
Amaliya mengajak para peneliti Indonesia juga berperan aktif membuat penelitian-penelitian terbaru.
“Kami sudah menyampaikan hasil penelitian dari para ahli di seluruh dunia maupun beberapa penelitan kami sendiri kepada pemerintah, tetapi jalan masih panjang. Masih diperlukan banyak penelitian untuk mendukung pembuatan kebijakan pemerintah dan memerangi berbagai informasi menyesatkan. Di sinilah kesempatan untuk menggiatkan penelitian lokal, sehingga kita tidak hanya bergantung kepada penelitian tentang Produk Tembakau Alternatif yang sudah banyak dari berbagai negara,” tutupnya.