55 Persen Orang Indonesia Cemas dan Depresi Saat Pandemi, Lakukan BREAK agar Tidak Berkepanjangan
Tingkat kecemasan dan depresi penduduk Indonesia pada masa pandemi COVID-19 cukup tinggi.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingkat kecemasan dan depresi penduduk Indonesia pada masa pandemi COVID-19 cukup tinggi.
Berdasarkan data SurveyMETER di bulan Juli 2020, yaitu 55 persen dari 3.533 responden yang mengalami kecemasan, di mana 58 persen di antaranya mengalami depresi.
Selama pandemi, banyak orangtua yang menjalankan peran ganda, tidak hanya melakukan pekerjaan rumah, namun juga tetap bekerja untuk kewajiban kantor, serta membantu mendampingi anak di rumah untuk keperluan pengajaran.
Apa yang harus dilakukan?
Baca juga: Dinda Hauw Hamil saat Pandemi Covid-19, Lebih Sensitif, Jaga Kandungan Super Esktra
Baca juga: Seorang Pria Tewas Gantung Diri di Pohon Mangga, Diduga Depresi Penyakitnya Tak Kunjung Sembuh
Tahun 2020 menjadi tahun yang tidak akan terlupakan dengan adanya pandemi global yang mempengaruhi seluruh dunia dalam berbagai bidang kehidupan.
Sebagai orangtua juga dihadapkan dengan berbagai perubahan dan tantangan yang melahirkan kebiasaan dan rutinitas baru.
Penyesuaian tata cara hidup baru diterapkan sepanjang tahun, termasuk dalam bidang pendidikan.
Banyak sekolah dan universitas tetap berjuang dan melakukan yang terbaik untuk tetap dapat melakukan kegiatan belajar mengajar di tengah keterbatasan tatap muka.
Hal ini, terutama di awal, dirasa bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Namun, keterpaksaan ini mengajarkan sekolah, guru, murid, dan orangtua untuk semakin siap atas pendidikan masa depan, dengan membiasakan diri untuk mengandalkan teknologi dalam kegiatan belajar mengajar.
Keterbatasan tatap muka secara fisik juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental.
Keterbatasan dalam bersosialisasi dan ruang gerak pun membuat banyak orang merasa bingung, cemas dan jenuh.
Selama virtual schooling (school from home) peran orangtua sangatlah penting dalam mencapai pendidikan anak yang optimal. Namun peran ini terkadang dirasa tidak mudah untuk dilakukan.
Peran ganda dan perasaan orangtua yang ingin memberikan pendampingan yang terbaik bisa menimbulkan rasa kewalahan, bahkan banyak orangtua yang merasa susah tidur, mengalami emosi yang tidak teratur, hingga perilaku yang tak wajar.
Ada juga orangtua yang menyalahkan dirinya ketika tidak merasa puas dalam mendampingi anaknya.
“Banyak orangtua yang kini menjalankan peran mereka di rumah sebagai pendamping pembelajaran anak, merasa kewalahan, yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Saat itulah orang tua mulai merasa lelah," jelas Saskhya Aulia, Co-founder dari Tiga Generasi yang memberikan panduan untuk orang tua yang merasa cemas di masa virtual schooling belum lama ini.
Kegiatan ini dilaksanakan Sampoerna Academy yang berinisiatif untuk mengadakan rangkaian diskusi tentang kesejahteraan (wellbeing) dan kesehatan mental dengan program bernama LiFT (Light Friday Talk). Saskhya menjadi pembicara pada sesi episode keempat LiFT yang membicarakan tentang Parenting Burnout.
Untuk meringkan beban itu, Saskhya menyarankan untuk melakukan BREAK.
Break bukan saja berati istirahat,tapi jadi kepanjangan agar cemas dan depresi tidak berkepanjangan.
"Dengan melakukan BREAK, Be kind to yourself, Reunite with your friends, Explore fun & flow activities, Ask for help, and Keep your daily routine dapat membantu orangtua untuk tidak terlalu merasa terbebani. Dengan istirahat yang cukup, orangtua bisa mencintai dirinya sendiri dan mampu menyayangi anaknya, sekaligus menjadi orang tua yang lebih baik,” kata Saskhya Aulia. (*/Lis)