Dr Raymond Pilih Kembangkan Kayu Manis dan Obat Berbahan Alami Indonesia, Rela Tinggalkan NASA
Alam Indonesia yang menyimpan ragam bahan baku obat lebih menarik perhatian ahli farmakologi molekuler, Dr Raymond Tjandrawinata. Ia meninggalkan NASA
Penulis: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM - Alam Indonesia yang menyimpan beragam bahan baku obat alami lebih menarik perhatian seorang ahli farmakologi molekuler yang satu ini.
Bahkan ia rela meninggalkan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Siapakah sosok ilmuwan ini? Dia adalah Dr Raymond Tjandrawinata .
Ya, Raymond Tjandrawinata memilih kembali ke Tanah Air untuk mengembangkan potensi biodiversitas Nusantara menjadi obat-obatan.
Baca juga: Cara Mengatasi Perut Kembung Secara Alami dan Mudah Tanpa Obat-obatan
Baca juga: Ini Alasan BPOM Sempat Beri Rekomendasi Lianhua Qingwen Capsules Sebagai Obat Donasi Covid-19
Dr Raymond meneliti obat dari bahan alam sejak menimba ilmu di negeri Paman Sam.
Ia bisa disebut sebagai salah satu putra Indonesia yang pertama kali mempelajari ilmu rekayasa genetika di era '80-an, karena pada kurun waktu tersebut, ilmu rekayasa di Indonesia belum sepenuhnya didalami.
“Pada waktu saya kuliah S1 di pertengahan tahun 1980-an, penelitian rekayasa genetika baru saja dimulai,” katanya.
Pada 1991, astronot wanita bernama Dr. Millie Hughes-Fulford mengajak Dr Raymond untuk terlibat proyek penelitian Spacelab Life Sciences (SLS 1) dengan menerbangkan pesawat ulang alik ke luar angkasa.
Proyek tersebut adalah sebagai misi spacelab pertama yang didedikasikan untuk penelitian biomedik.
Penelitian itu bertujuan untuk mengkaji secara ilmiah ekspresi gen tulang manusia dalam kaitannya dengan pengeroposan tulang pada kondisi tanpa gravitasi.
"Pengalaman bekerja dengan para saintis di NASA sangat memperkaya perspektif saya sebagai seorang saintis biomedis,” ungkap peraih WIPO Medal for Inventor Award, SINTA Award, dan Habibie Award itu.
Dr Raymond mengembangkan obat dari bahan alam saat berkarier di perusahaan farmasi terkemuka di Amerika, Smithkline Beecham di awal '90-an hingga tahun 2000.
Di perusahaan tersebut, ia belajar teknik riset laboratoris yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan farmasi di Amerika.
“Di sana saya banyak belajar cara mengembangkan obat baru dengan teknik riset translasional dari laboratorium ke pasien.”