Alergi Susu Sapi Bisa Bikin Tumbuh Kembang Anak Kurang Optimal, Deteksi Sejak Dini Tanda-tandanya
Asupan nutrisi memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asupan nutrisi memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.
Oleh karena itu, para orangtua harus memahami sejak dini, apakah anak mereka memiliki alergi atau tidak.
Hal yang paling umum terjadi pada anak-anak adalah alergi terhadap susu sapi, inilah yang dapat menghambat tumbuh kembang anak jika tidak dideteksi sejak dini.
Baca juga: Menurut Dokter Anak, Ini 3 Cara Mencegah Alergi Susu Sapi pada Anak
Baca juga: Mitos Medis soal Alergi, dari Terjadi pada Anak hingga Tidak Bisa Disembuhkan
Sehingga penting bagi para orangtua untuk bisa memberikan asupan nutrisi yang sesuai, agar tumbuh kembang anak pun tetap bisa berlangsung optimal.
Dokter Konsultan Alergi Imunologi Anak, Prof. Dr. dr. Budi Setiabudiawan, Sp.A(K), M.Kes, mengatakan bahwa alergi susu sapi merupakan salah satu alergi makanan yang paling sering dialami anak-anak di Asia.
Sedangkan di Indonesia, kasusnya mencapai 7,5 persen.
"Kejadian alergi susu sapi pada anak-anak di Indonesia yaitu 0,5 persen hingga 7,5 persen," ujar Prof Budi, dalam webinar Morinaga - Kalbe Nutritionals bertajuk 'Atasi Alergi Si Kecil dengan Deteksi Dini', Sabtu (26/6/2021).
Ia menekankan bahwa meskipun sebagian besar anak-anak dapat pulih dari gejala ini saat meninggalkan periode balita, namun alergi susu sapi patut diwaspadai.
Menurutnya, penting untuk segera melakukan konsultasi dengan dokter jika orangtua melihat anak memiliki gejala alergi ini.
"Jika kondisi alergi terdiagnosis sejak awal dan dapat segera dikonsultasikan ke dokter, maka dapat dilakukan tata laksana yang tepat, sehingga tumbuh kembangnya optimal," kata Prof Budi.
Menurutnya, anak-anak paling sering mengalami alergi seperti asma, rintis alergi, alergi makanan, dermatitis atopik, serta alergi protein susu sapi.
Prof Budi menambahkan bahwa jika orangtua hanya mendiagnosa sendiri tanpa berkonsultasi dengan dokter dan mendapatkan diagnosis yang tepat, maka bisa muncul sederet dampak negatif.
"Dampak kesehatan (yang dapat dialami anak) yaitu (terhambatnya) tumbuh kembang anak serta meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti hipertensi atau sakit jantung di kemudian hari," kata Prof Budi.
Selain itu, ada pula dampak ekonomi dan psikologis yang harus dihadapi orang tua dan anak.
"Kemudian dampak ekonomi karena harus sering berobat ke dokter, serta dampak psikologis karena bisa timbul stress pada ibu dan anaknya," jelas Prof Budi.
Dalam mendukung program unggulan World Allergy Week, Business Head Morinaga - Kalbe Nutritionals, Dewi Angraeni meyakini bahwa setiap orangtua tentunya menginginkan anak tumbuh secara optimal, meskipun sang anak memiliki kondisi alergi.
Jika tumbuh kembang anak berlangsung optimal, mereka akan aktif dan tumbuh menjadi anak yang berprestasi.
Oleh karena itu, ia menilai penting untuk memberikan edukasi kepada para orangtua agar bisa peka dan dapat mendeteksi sejak dini terkait alergi yang dialami oleh anak.
"Orangtua perlu mengetahui bahwa si kecil yang alergi, tetap dapat tumbuh secara optimal dan berprestasi jika alerginya diatasi dengan deteksi secara dini. Untuk itu, Morinaga selalu berkomitmen meningkatkan edukasi dan akses nutrisi melalui program World Allergy Week," kata Dewi.
Lalu gejala apa yang timbul jika anak mengalami alergi susu sapi ?
Prof Budi menyampaikan bahwa gejala alergi susu sapi yang dialami anak sangat beragam, mulai dari ringan hingga berat.
Umumnya dapat dirasakan pada tiga organ tubuh, yakni saluran cerna, saluran nafas, dan kulit.
"Gejala alergi susu sapi dapat muncul dengan gejala ringan, sedang sampai berat, dan dapat mengenai tiga organ," papar Prof Budi.
Namun yang paling sering dikeluhkan adalah gejala pada saluran pencernaan, dengan angka anak yang mengalami diare mencapai 53 persen, sedangkan kolik 27 persen.
"Kejadian yang paling sering yaitu keluhan di saluran cerna seperti diare sebanyak 53 persen, kemudian kolik 27 persen," pungkas Prof Budi.