Makan Banyak Kalori Tapi Tidak Bikin Gemuk, Bagaimana Caranya?
Teorinya, jika konsumsi jumlah kalori di atas nilai di rumus tersebut, seseorang akan mengalami kegemukan.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Hasiolan Eko Purwanto
TRIBUNNEWS.COM - Apa jadinya bila seorang pria mengonsumsi sebanyak 3.000 kalori per harinya? Besar kemungkinan, ia akan mengalami kelebihan berat badan (overweight).
Hal itu merujuk pada pedoman diet 2015–2020 untuk orang Amerika, pada umumnya seorang pria dewasa mengonsumsi 2.000 hingga 3.000 kalori sehari.
Teorinya, jika konsumsi jumlah kalori di atas nilai di rumus tersebut, seseorang akan mengalami kegemukan.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi Nicolas Suhendra.
Metabolism and fitness coach ini menyebut dalam sehari, bisa mengonsumsi kalori hingga 4.000 kalori. Namun, dia tidak termasuk overweight. Kok bisa?
Baca juga: 10 Tips Menurunkan Berat Badan: Menghitung Kalori hingga Konsumsi Telur untuk Sarapan
Pria yang akrab disapa Nico ini bercerita, rata-rata dirinya mengonsumsi 3.800–4.000 kalori per harinya.
Namun, jumlah kalori sebanyak itu tak membuatnya gemuk. Hal ini karena ia memiliki massa otot yang banyak, mengonsumsi protein sebanyak 160–180 gram dalam sehari, dan latihan yang cukup intens.
Baca juga: Rekomendasi Nutrisi dan Vitamin yang Bermanfaat untuk Kecerdasan Otak Anak
Semakin banyak masa otot pada tubuh kita, maka kebutuhan kalori kita semakin banyak. Ibarat mobil, semakin besar cc-nya, maka bahan bakar yang dibutuhkan semakin banyak.
Baca juga: Kurangi Kalori Saat Konsumsi Karbohidrat dengan Mengurangi Seperempat Makanan dari Porsi
Protein ini dibutuhkannya untuk membantu pemulihan otot yang rusak, terutama setelah olahraga mengangkat beban yang rutin dilakukannya.
Yup, pria yang dikenal berprofesi sebagai dokter gigi ini memulai nge-gym sejak tahun 2006 atas ajakan ayahnya, dr Henry Suhendra Sp.OT yang sering kita kenal dengan @B19DOC.
Olahraga angkat beban yang dilakukannya bukan untuk membentuk postur tubuhnya dari luar saja, melainkan untuk kesehatan secara lebih menyeluruh.
Diet Ekstrem
Di masa lalu, pria 34 tahun ini mengaku pernah diet ekstrim, memiliki badan ripped dan six pack, namun hasil laboratorium panel darahnya sangat jelek. Dari situ Nico mulai membenahi pola makannya dan mendalami metabolism adaption lebih baik lagi.
Kini, pria pemegang beragam sertifikasi internasional, seperti Opex-USA(on-going), NSPA-USA, Clean Health–SSIC (Australia) dan lain-lain ini menyadari bahwa banyak dari pelaku olahraga yang ternyata undereating.
Dalam tayangan IG live melalui akun miliknya @steadfastnick belum lama ini, Nico dan ayahnya yang bernama dr Henry Suhendra Sp.OT juga membahas pentingnya otot.
Tak hanya membantu penampilan fisik, dr Henry menyampaikan, massa otot yang terbentuk melalui olahraga bisa membantu tubuh untuk melawan penyakit.
“Punya otot bukan buat gagah-gagahan saja. Otot bisa melindungi dari berbagai virus,” kata dr Henry.
Dalam dialog tersebut terungkap bahwa saat usia seseorang menginjak 40 tahun, maka dalam setiap tahunnya massa otot miliknya susut sebanyak 1%. Itu setara dengan 3% fungsi organ tubuh.
Dialog tersebut juga membahas sejumlah persepsi yang beredar di masyarakat terkait kesehatan.
Sayangnya, beberapa persepsi tersebut tidak terbukti secara ilmiah. Salah satunya adalah mengenai posisi lutut tidak boleh lebih maju daripada posisi jempol tangan karena bisa menyebabkan sakit pinggang.
Posisi lutut yang lebih maju ketimbang jempol tangan ini bisa dilihat saat seseorang dalam posisi jongkok. Nico dan dr Henry menegaskan bahwa persepsi tersebut keliru.
Keduanya lalu menegaskan, olahraga beban terbukti memiliki sejumlah manfaat bagi kesehatan selama dilakukan sesuai porsinya.
Di samping itu, idealnya latihan beban dilakukan pada beberapa bagian tubuh, bukan hanya fokus pada bagian tubuh tertentu. Hal ini bertujuan agar terjadi keseimbangan pada tubuh si pelakunya.