Hindari Obesitas hingga Diabetes, Dokter Gizi Ungkap Batasan Aman Konsumsi Gula pada Anak
Gula tetap dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi sepanjang hari tentu dengan jumlah yang terbatas atau tidak berlebihan.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masih banyak orangtua mempercayai bahwa konsumsi gula pada anak menyebabkan anak menjadi hiperaktif.
Dokter spesialis gizi klinik di RSIA Melinda Bandung, Johanes Casay Chandrawinata membantah mitos tersebut.
Gula tetap dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi sepanjang hari tentu dengan jumlah yang terbatas atau tidak berlebihan.
Baca juga: Menkes: Kurangi Konsumsi Gula,13 Persen Orang Indonesia Terkena Diabetes
Sudah banyak penelitian yang menyanggah pernyataan gula membuat anak hiperaktif.
"Jadi itu mitos ya. Nggak ada hubungan anak hiperaktif dengan konsumsi gula. Penelitian pernah dilakukan dan hasilnya memang tidak ada pengaruh gula. Mitos itu berkembang karena ibu-ibu (sebagai subyek penelitian) membuat kesimpulan sendiri anaknya jadi hiperaktif setelah diberi jajan yang mengandung gula," kata dia saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (28/9/2022).
Ia mengatakan, sama seperti orang dewasa jika anak kelebihan konsumsi gula maka yang timbul adalah masalah kesehatan atau penyakit, seperti obesitas bahkan diabetes melitus.
"Perlu dibatasi konsumsinya. Secara spesifik anak tidak memiliki batasam aman konsumsi gula dalam sehari. Tapi orangtua harus mencukupkan kebutuhan hariannya," terang dokter Johanes.
Dokter Johanes memaparkan, gula bisa didapatkan dari sejumlah makanan, mulai dari nasi atau jenis karbohidrat lain hingga buah-buahan.
Artinya dalam keseharian, anak-anak cukup diberi makan 3 kali sehari dengan karbohidrat seperti nasi dan sumber lain, lalu lemak dan protein, serta sayur dan buah.
"Jangan dari awal mpasi anak sudah diberi makanan atau minuman yang manis-manis. Dikhawatirkan ada penyakit nantinya. Beri kecukupan gula dengan makan 3 kali sehari dengan gizi seimbang dan lengkap. Nggak perlu jajanan yang manis, nanti malah obesitas atau kena diabetes," jelas dia.
Seringkali Diabetes Melitus (DM) dianggap sebagai penyakit orang dewasa.
Namun, DM juga bisa terjadi pada anak-anak dan remaja, khususnya DM tipe-1.
Baca juga: 4 Tipe Diabetes dan Gejala Diabetes pada Anak-anak, Remaja, Dewasa, serta Risikonya
Dikutip dari Kementerian Kesehatan, DM tipe-1 tidak dapat dicegah dan siapapun dapat mengalaminya.
Di Indonesia, DM tipe-1 pertama kali didiagnosis paling banyak pada kelompok usia 10-14 tahun dengan 403 kasus.
Kemudian kelompok usia 5-9 tahun dengan 275 kasus, kelompok usia kurang dari 5 tahun dengan 146 kasus, dan paling sedikit adalah usia di atas 15 tahun dengan 25 kasus.
Berbeda halnya dengan DM tipe-1, DM tipe-2 pada anak biasanya terdiagnosis pada usia pubertas atau lebih tua.
Meskipun kasus DM tipe-1 yang paling banyak pada anak, namun ada kecenderungan peningkatan kasus DM tipe-2 pada anak dengan faktor risiko obesitas, genetik dan etnik, serta riwayat DM tipe-2 di keluarga.