Wanita Indonesia Keren Dorong Kesehatan Mental Masuk dalam UU Kesehatan
Ia menyebut banyaknya bullying, flexing, narsis berlebihan, tindak kekerasan di kalangan remaja, sebagai indikasi darurat kesehatan mental
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Wanita Indonesia Keren (WIK), Maria Ekowati mendorong isu kesehatan mental dimasukkan ke dalam pembahasan Undang-Undang Kesehatan dan Undang-undang Kesehatan Ibu dan Anak yang saat ini sedang dibahas di lembaga legislatif.
Desakan itu terkait adanya kecenderungan penyimpangan perilaku yang banyak terjadi belakangan ini.
Ia menyebut banyaknya bullying, flexing, narsis berlebihan, tindak kekerasan bahkan fenomena bunuh diri di kalangan remaja, sebagai indikasi darurat kesehatan mental.
Baca juga: Survei: 17 Persen Perusahaan Peduli Kesehatan Mental Karyawan, 52 Persen Beri Layanan Telemedicine
"Isu ini harus mendapat porsi cukup dalam pembahasan RUU Kesehatan dan RUU Kesehatan Ibu dan Anak agar penanganan kesehatan mental memiliki kekuatan hukum dan harus mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat," kata Maria kepada wartawan di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Dikatakannya, selama ini penanganan kesehatan mental lebih dominan pada tahap kuratif, orang dengan gangguan jiwa namun belum dimulai dari pencegahan atau preventif.
Merujuk pada sejumlah penelitian, salah satunya survei yang dikeluarkan Indonesia-National Adolescent tahun 2022 menyebut, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki satu masalah kesehatan mental.
Data yang sama menyebut, satu dari 20 remaja memiliki satu gangguan mental dan gangguan cemas paling banyak dialami remaja, tidak ada pengaruh jenis kelamin maupun usia sehingga menjadi penanda bahwa Indonesia sedang berada dalam darurat kesehatan mental.
Baca juga: Marak Kasus Pembunuhan Anak Kandung, Pemerintah Harus Utamakan Isu Kesehatan Mental Orang Tua
Oleh karena itu, penanganan kesehatan mental harus dilakukan hingga ke tingkat komunitas.
"Kalau masyarakat mengalami gangguan kesehatan fisik, mereka sudah tahu harus menuju ke mana, tidak demikian bila mereka merasakan gangguan emosi berkelanjutan sebagaiindikator kesehatan mental," ujar Maria.
Layanan kesehatan mental, idealnya, menjadi satu denganlayanan kesehatan fisik dan tidak dipisahkan seperti saat inidengan adanya rumah sakit jiwa, ujarnya.
Harus ada design layanan kesehatan mental di rumah sakit umum dan rumah sakitdaerah baik milik pemerintah atau swasta. Demikian juga sampai ke Puskesmas dan Posyandu, ujar Maria yang berlatarbelakang pendidikan psikologi.
Selain memasukkan isu kesehatan mental ke dalam RUU Kesehatan dan RUU Kesehatan Ibu dan Anak, Maria juga mendorong perlunya edukasi publik secara masif, paling tidakpada tahapan skrining atau deteksi dini.
"Sekalipun sudah berada pada tahap darurat kesehatan mental, secara kultural, isu ini masih ditabukan untuk dibicarakan apalagi masih banyak orang yang menganggap gangguan mental sebagai hal yang tabu atau aib, padahal bila gejala awal tidakmendapat penanganan, akan berkelanjutan hingga berpotensipada gangguan jiwa akut," katanya.
Komunitas WIK telah menemui sejumlah pejabat yang menangani isu kesehatan mental dan menyuarakan aspirasinya ke Komisi IX DPR agar mendapat perhatian sungguh-sungguh.
"Dalam waktu dekat, WIK akan mengajak semua pihak terkait untuk melakukan kajian strategi penanganan kesehatan mental di masyarakat," katanya.
Baca juga: Bicara soal Kesehatan Mental, Natasha Wilona Soroti Pola Asuh Orang Tua hingga Masalah Labeling
Senada dengan usulan dari Wanita Indonesia Keren, praktisi Kedokteran Komunitas dari Health Collaborative Center dan FKUI, Ray Wagiu Basrowi mengatakan, pendekatan edukasi publik di tingkat komunitas sangat strategis mengingat besaran masalah gangguan kesehatan mental yang juga terjadi hingga pada populasi ibu hamil, ibu menyusui dan balita.
"Penelitian yang dilakukan pada populasi ibu menyusui di Indonesia selama pandemi menunjukkan 6 dari 10 ibu menyusui tidak bahagia akibat kurang suportifnya sistem pendukung di keluarga dan masyarakat," kata Ray.
Dikatakannya, intervensi edukasi publik di komunitas telah memiliki sejumlah bukti ilmiah yang kuat sehingga tingkat keberhasilan bisa lebih besar dan terukur.