Kasus Stunting Dipicu Asupan Gizi Minim, Gaya Hidup dan Kebiasaan Makan yang Keliru
Prevalensi stunting di ibukota berdasarkan SSGI 2022, masih berada di kisaran 14,8 persen.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gizi buruk masih menjadi hantu yang membayangi sebagian balita di Ibukota.
Prevalensi stunting di ibukota berdasarkan SSGI 2022, masih berada di kisaran 14,8 persen.
Baca juga: Atasi Ancaman Stunting di Indonesia, Gus Imin: Pemerintah Butuh Partisipasi Masyarakat
Seperti diketahui, stunting sering dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan penduduk.
Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta melaporkan pada September 2022, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta berada pada angka 502.040 jiwa.
Jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak 7,11 ribu jiwa atau 1,44 persen selama periode Maret-September 2022.
Meski terjadi penurunan tingkat kemiskinan, kenyataannya problem gizi dan kesehatan anak masih terus bermunculan.
Bila dirunut dari kasus-kasus stunting dan kesehatan anak khususnya yang dialami oleh masyarakat di wilayah marjinal dan padat penduduk, sebagian besar faktor penyebabnya adalah ketidaktahuan orang tua tentang asupan gizi untuk anak serta gaya hidup dan kebiasaan makan keluarga yang keliru.
Baca juga: Lawan Stunting, ITDC Gelar Program Dapur Sehat di Desa Penyangga The Mandalika
Yuli Supriati, Ketua Bidang Advokasi YAICI mengatakan, selama balita kenyang dan tidak rewel bagi sebagian orangtua dianggap sudah cukup.
“Sementara yang memperhatikan apakah anak sudah mendapat protein hewani yang cukup, vitamin dan kalsium dan zat-zat gizi lainnya masih jarang,” jelas Yuli dalam keterangannya, Senin (12/6/2023).
Yuli yang saat itu sedang mendampingi kader Aisyiyah yang melakukan survei tentang asupan gizi balita menuturkan pada umumnya, orangtua melakukan praktik pengasuhan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang juga dilakukan orang tuanya di masa lalu.
“Rata-rata yang kami temui adalah pengasuhan anak itu diturunkan. Jadi ibu-ibu muda saat ini, melakukan pengasuhan anak bedasarkan apa yang dilakukan orang tuanya dulu. Jadi, meskipun mereka rajin ke Posyandu, diedukasi oleh kader tentang apa yang baik dan tidak baik untuk anak, tapi begitu kembali ke rumah, pengetahuan tersebut diabaikan,” kata Yuli.
Diantara temuan-temuan kebiasaan yang salah yang masih dilakukan orangtua dalam praktik pengasuhan anak adalah kebiasaan kosumsi susu.
“Kita tahu susu baik untuk anak karena mengandung protein hewani yang dibutuhkan oleh anak namun banyak yang tidak paham mengenai ini. Jadi masyarakat hanya beranggapan minum susu itu penting, tapi tidak paham yang mengakibatkan banyak yang memberikan anaknya kental manis, yang penting anaknya minum susu,” jelas Yuli.
Baca juga: Kemenkes: Paparan Asap Rokok Orang Tua Potensi Buat Anak Stunting