Terapkan Budidaya Organik, Ubi Cilembu Sumedang Primadona Mancanegara
Dua puluh lima tahun menggeluti agribisnis ubi cilembu dari hulu hingga hilir, Taryana yang membudidayakan ubi cilembu secara organik
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Dua puluh lima tahun menggeluti agribisnis ubi cilembu dari hulu hingga hilir, Taryana yang membudidayakan ubi cilembu secara organik di Sumedang ini pun telah berhasil menembus pasar ekspor sejak 1999. Berbekal sertifikat organik dan sertifikat karantina, produk “Honey Sweet Potato” ini telah berhasil menjadi favorit warga Singapura, Hongkong dan Malaysia.
Permintaan ekspor ubi cilembu organik per bulan ini pun mencapai 12 - 40 ton dan dipenuhi dari produksi pada lahan yang dikelolanya sendiri dan lahan petani plasma yang mencapai 45 Ha.
Ubi cilembu (Ipomoea batatas (L.) Lamb.) merupakan salah satu jenis ubi jalar yang sangat disukai masyarakat lokal dan mancanegara karena karakternya yang khas, yaitu getah pada umbinya akan meleleh seperti madu jika dipanggang dalam oven. Si umbi madu ini banyak diminati masyarakat karena kandungan gizi serta vitamin A yang lebih tinggi dibanding umbi jenis lainnya.
Baca: Peran BKP Kementan Dalam Penurunan Stunting di Indonesia
Minat masyarakat saat ini terhadap komoditas ubi jalar termasuk ubi cilembu cukup meningkat untuk dikonsumsi sebagai karbohidrat pangan selain nasi dengan kandungan serat yang tinggi.
Penerapan budidaya ubi cilembu organik yang bebas pestisida dan bahan kimiawi oleh Taryana ini menjadi nilai tambah dan magnet konsumen luar negeri untuk membeli produk ubi cilembu ini. “Biasanya setiap Negara tujuan berbeda-beda permintaannya, ada yang minta ubinya sudah dihaluskan, dipotong dan rebus, ada yang minta masih segar, dan ada juga yang dibuat manisan ubi cilembu dalam toples. Kami selalu memenuhi permintaan konsumen dan itulah yang membuat bisnis kami ini masih terus berlanjut hingga saat ini” terang Taryana.
Selain mengantongi sertifikat organik dan karantina, bisnisnya pun juga telah mengantongi sertifikat P-IRT serta kandungan pestisida produknya. “Kami terus mengupayakan mengekspor produk karena memang harga ekspor berkisar Rp. 9,000 hingga Rp. 15,000 per kg nya, tapi kami juga tetap mensuplai pasar lokal dengan harga yang lebih terjangkau yaitu Rp. 5,000 hingga Rp. 10,000 per kg tergantung kualitasnya” tambah Taryana.
“Hui Nirkum” ujar Taryana yang ternyata adalah nama untuk ubi jalar yang menghasilkan madu ini pada tahun 90an sebelum populer dengan nama Ubi Cilembu. Ia pun turut berperan dalam mengenalkan ubi cilembu kepada masyarakat dengan mengikuti berbagai pameran hingga mendapat kesempatan berharga untuk magang selama 1 tahun di Jepang untuk mempelajari budidaya hingga pemasaran ubi jalar.
Sekembalinya ke Indonesia, Ia pun menerapkan segala ilmu yang Ia dapatkan, sehingga pada tahun 2000 Ia berhasil ekspor perdana ke Singapura dan disusul pada tahun 2006 ia berhasil memasarkan ubi ini ke Negeri Matahari Terbit.
Dua puluh tahun menggeluti ekspor ubi cilembu Taryana tidak hanya mendapatkan pengalaman manis, tetapi juga banyak tantangan serta rintangan yang Ia temui. “Bahkan pernah uang kami busuk sia sia, dalam arti satu container tidak dapat diuangkan tapi dibuang akibat alat pendingin dikapal mati sehingga ubi terfermentasi dan membusuk” tandasnya.
Namun hal tersebut Ia jadikan sebagai pemecut semangat beliau untuk memperbaiki proses bisnisnya, “Selama manusia tidak makan dari bahan sintetis, hasil pertanian akan tetap laku dan dibutuhkan masyarakat. Jadi jangan malu menjadi petani karena petani memiliki peluang besar sukses di kehidupan dunia dan akhirat”. “Jadilah petani yang menghasilkan produk yang disukai pasar dan konsumen”, tutup beliau pada akhir wawancara.
Ditemui pada kesempatan berbeda Amirudin Pohan, Direktur Aneka Kacang dan Umbi menyampaikan bahwa, peluang ekspor berbagai jenis ubi jalar termasuk ubi cilembu masih terbuka lebar. “Tahun 2018 saja Indonesia berhasil mengekspor 10.000 Ton ubi jalar, baik yang segar, beku, maupun olahan.
Selain itu masyarakat baik dalam dan luar negeri pun saat ini sedang sangat memperhatikan kesehatan dan mencari sumber karbohidrat tinggi serat selain nasi dan gandum, ubi jalar lah salah satu yang menjadi favorit karena mudah diolah menjadi berbagai panganan” jelas Amir. Ia pun menambahkan bahwa produk-produk organik saat ini lebih diminati pasar ekspor sehingga petani maupun pengusaha yang membudidayakan produknya secara organik harus lebih aktif untuk mencari peluang ekspor serta menciptakan inovasi-inovasi produk yang dibutuhkan konsumen.
“Berdasarkan data ekspor yang kami miliki, pada tahun ini Indonesia berhasil mengekspor 6,000 ton ubi jalar termasuk ubi cilembu didalamnya ke Jepang, Hong Kong, Korea, China, Thailand, Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain dan Amerika Serikat” tandas Amir.
Ia pun turut menghimbau para petani maupun penggiat budidaya ubi jalar untuk menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) SERTA memanfaatkan varietas-varietas unggulan hasil Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi (BALITKABI) di Malang untuk menghasilkan ubi jalar berkualitas prima dan unggul baik dari segi produktivitas budidaya serta daya simpan dan cita rasa.
Baca: BKP Kementan Ajak Perguruan Tinggi Kembangkan Industri Pertanian 4.0
“Dengan menerapkan budidaya organik, petani tidak hanya menyediakan pangan yang baik untuk masyarakat domestik dan internasional, tetapi juga turut ikut menjaga dan melestarikan lingkungan” tutup Amir. (*)