Kemendes PDTT Raih 5 Kali Opini WTP, DPR RI Beri Apresiasi
Kementerian Desa berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebanyak 5 kali. DPR RI beri apresiasi kepada Menteri Desa Abdul Halim Iskandar.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebanyak 5 kali berturut-turut dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Prestasi ini mendapat apresiasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus menyampaikan langsung apresiasi tersebut saat membuka sidang Rapat Kerja bersama Kemendes PDTT dengan agenda pembahasan hasil pemeriksaan BPK semester I Tahun 2021 di Gedung DPR Senayan, Jakarta, (11/4/2022).
"Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK, Kemendes PDTT mendapatkan opini WTP. Kita kasih applause kepada Menteri Desa. Opini tersebut berhasil dipertahankan berturut-turut sejak 2016 sampai dengan 2020," kata Lasarus.
Selain memberi apresiasi, Lasarus juga meminta Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar atau Gus Halim memaparkan tentang progres rekomendasi BPK. Rekomendasi itu tentang kelemahan sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan. Hal itu berkaitan dengan 12 temuan dan 41 rekomendasi yang disampaikan BPK.
Komisi V DPR RI sebagai mitra kerja dan juga dalam rangka menjalankan tugas pengawasan, lanjut dia, mempersilahkan Gus Halim untuk menjelaskan secara komprehensif atas hasil temuan dan rekomendasi BPK tersebut.
Menanggapi apresiasi dan masukan dari DPR, Gus Halim menjelaskan bahwa sebagai tindak lanjut yang sudah dilakukan adalah memorandum kepada Sekjen Kemendes PDTT dan BPSDM PMD. Hal ini sebagai tindak lanjut sesuai rekomendasi BPK.
"Progres penyelesaian dari 2 butir dan 6 rekomendasi sudah 100 persen dan sudah diajukan kepada BPK untuk penetapan stastus kesesuaian tindak lanjutnya pada pemantauan BPK semester II tahun 2021," ujar Gus Halim menerangkan.
Selain itu, tindak lanjut kedua yaitu mengenai temuan belanja barang dan jasa. Gus Halim mengungkapkan bahwa temuan itu ternyata hanya disebabkan perbedaan persepsi ditingkat petugas pajak mengenai status pendamping desa.
"Ada yang menganggap pendamping itu pegawai tetap, ada yang memahami sebagai pegawai tidak tetap, di mana kedua-duanya itu berbeda dalam penghitungan pajaknya. Jadi masalahnya di sana dan sudah kita tindak lanjuti, koordinasi dengan Dirjen Pajak untuk menyamakan persepsi," pungkasnya.