Wakil Ketua MPR RI: Fokus Mengelola Utang, Bukan Membandingkan dengan Negara Maju
Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mendorong Pemerintah menyelesaikan masalah utang, bukan malah membandingkannya dengan negara maju.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan mempertanyakan pernyataan Pemerintah melalui Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi perihal utang Indonesia yang kini mencapai Rp.7.420,47 Triliun pada akhir September 2022.
Menurut Syarief Hasan, utang dengan jumlah triliunan tersebut sangatlah besar dan menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Syarief Hasan menyebut, perbandingan utang negara bukan pada besar kecilnya tetapi pada kemampuan membayarnya.
"Kritikan kami selama ini kepada Pemerintah adalah semakin besarnya utang Indonesia, membuat semakin beratnya beban membayar utang pada pemerintahan berikutnya. Negara maju memiliki kemampuan bayar utang, sementara Indonesia semakin berat dalam membayar utang dan bunganya.", Ungkap Syarief Hasan.
Syarief Hasan melanjutkan, Surat Berharga Negara (SBN) mendominasi sampai 88,2 persen dari total utang pemerintah, sementara investor menuntut imbal hasil SBN harus tinggi yakni 7,4 persen untuk tenor 10 tahun.
"Dengan kondisi ini, dana APBN akan terbebani untuk membayar bunga utang yang angkanya fantastis melebihi Rp 410 triliun. Itu baru bunga utang, belum termasuk utang pokoknya.", Ungkap Syarief Hasan.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini juga mengingatkan hasil review BPK RI. "Kami mengingatkan kembali, BPK dalam Hasil Review atas Kesinambungan Fiskal telah mewanti-wanti tren penambahan utang dan biaya utang yang melampaui PDB. Hal ini bisa berakibat pada gagal bayar dan berbahahaya bagi kondisi fiskal nasional," Ungkapnya.
Syarief Hasan juga mendorong Pemerintah menyelesaikan masalah utang, bukan malah membandingkannya dengan negara maju.
"Negara maju secara ekonomi lebih kuat dibandingkan Indonesia. PDB perkapita Amerika Serikat mencapai USD 63.123, Cina mencapai USD 10.229, sementara Indonesia hanya USD 4.349,17, jauh di bawah negara-negara maju. Itupun, angka rasio gini Indonesia sangat tinggi mencapai 0,38."
"Jadi, Pemerintah tidak perlu gegabah membandingkan diri dengan negara maju anggota G-20, tetapi fokus menyelesaikan masalah nasional, utamanya utang pokok dan bunga utang yang semakin besar mencapai 41 persen dari PDB Indonesia," tambahnya.
Syarief Hasan juga mengingatkan Pemerintah terkait rekomendasi BPK dan IMF. "Indikator kerentanan utang Indonesia yang berasal dari kajian BPK menyebutkan utang Indonesia melampui rekomendasi International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR).", Ungkapnya.
"Dari berbagai kajian akademis menunjukkan bahwa rasio debt service terhadap penerimaan sudah mencapai 46,77% dan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan mencapai 19,06% melampaui rekomendasi IMF.", Ungkap Syarief melanjutkan pandangannya.
Guru Besar bidang Manajemen Koperasi dan UKM ini juga mengingatkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang menyebut, utang Indonesia mencapai Rp6.626,4 Triliun atau mencapai 59,70% dari aset negara. Persentase ini melebihi rekomendasi dari IMF sebesar 25-35%, bahkan BPK RI mengingatkan potensi gagal bayar utang Indonesia.
"Banyak sekali lembaga yang sudah mengingatkan soal utang Indonesia yang semakin besar. Pemerintah lebih baik fokus menyelesaikannya, bukan gegabah menyebut utang tersebut kecil dan membandingkannya dengan negara maju yang memiliki perekonomian kuat.", Tutup Syarief Hasan.