Waka MPR RI Dorong Keterlibatan Semua Pihak dalam Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis
Menurut Lestari, stigma dan diskriminasi terhadap pasien TB masih menjadi tantangan dalam proses pengobatan.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong penuh atas keterlibatan semua pihak dalam pencegahan dan pengendalian Tuberkulosis (TB). Menurut Lestari, stigma dan diskriminasi terhadap pasien TB saat ini masih menjadi tantangan dalam proses pengobatan.
"Sepanjang tahun, kita menghadapi tantangan dalam penanggulangan TB. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien TB masih
menjadi tantangan dalam proses pengobatan," kata Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Ada Apa Dibalik Kenaikan Kasus Tuberkulosis (TB) Yang Sangat Tajam? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/6).
Menurut Lestari, pasien TB juga masih kurang memahami terkait identifikasi dan tahapan pengobatan yang dijalaninya.
Berdasarkan Global TB Report Tahun 2023, ungkap Rerie, sapaan akrab Lestari, Indonesia berada pada posisi kedua dengan perkiraan 1.060.000 kasus dan 134.000 kematian akibat
TBC per tahun di Indonesia.
Catatan tersebut, tegas Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, harus mendorong penguatan komitmen Indonesia dalam mengatasi TB.
Perbaikan sistem deteksi dini dan pelaporan kasus TBC, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, harus menjadi bagian dari langkah strategis dalam mewujudkan perlindungan kesehatan masyarakat.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Transparansi dalam Proses PPDB Harus Ditingkatkan
Adapun diskusi tersebut dimoderatori oleh Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI. Turut pula menghadirkan dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA (Ketua Tim Kerja Tuberkulosis /TB, Kemenkes RI), Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, FISR (Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI – Direktur WHO SEARO /World Health Organization South East Asia Regional Office 2018-2020) dan Dr. Pinky Saptandari, Dra., M.A. (Ahli Antropologi Kesehatan - Universitas Airlangga Surabaya) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Dr. dr. Bobby Singh Sp.P, MKes, FISR, FAPS (Praktisi Penyakit Tuberkulosis) dan dr. Setiawan Jati Laksono (Country Officer WHO Indonesia) sebagai penanggap.
Lebih lanjut, Ketua Tim Kerja TB, Kemenkes RI, Tiffany Tiara Pakasi berpendapat untuk bisa mengeliminasi TB kita harus menemukan kasus TB lebih cepat dan memenuhi pengobatan hingga tuntas, memutus rantai penularan, sehingga dapat sembuh dengan baik.
Tingkat kesuksesan menemukan kasus TB, menurut Tiffany, harus mampu menemukan 90 persen dari estimasi, sehingga mampu tercapai 90% sukses rate untuk sembuh.
Kenaikan kasus TB saat ini, jelas Tiffany, disebabkan pada masa pandemi Covid-19 terjadi penurunan notifikasi kasus, under reporting hingga terjadi delay reporting kasus yang terjadi.
Berdasarkan kondisi tersebut, tambah dia, upaya deteksi dini dengan portable xray untuk menemukan kasus TB saat ini sedang dikerjakan dengan target menemukan kasus dan pengobatan segera sampai sembuh.
Sejatinya, ungkap Tiffany, kita sudah memiliki Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TB dengan enam strategi
penanggulangan antara lain penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat dan daerah,
peningkatan akses layanan TB bermutu dan berpihak pada pasien.
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan pada pembukaan Rapat Tahunan WHO, akhir Mei lalu, diungkapkan bahwa di dunia saat ini sudah ada 87 juta orang berhasil didiagnosis dan terbebas dari TB.
Saat ini, tambah Tjandra, WHO juga mencatat 47 negara di dunia mengalami penurunan jumlah kasus TB lebih dari sepertiga. Sangat disayangkan, ujar dia, Indonesia tidak masuk dalam daftar negara itu.
Pada tahun 2020, menurut Tjandra, peringkat jumlah kasus TB di Indonesia berada di lima besar dunia. Tetapi tahun ini, jumlah kasus TB di tanah air malah naik menduduki peringkat dua dunia.
Tjandra mengungkapkan, Tiongkok dalam 10 tahun mampu menurunkan jumlah kasus TB lebih dari 25%, padahal tingkat penurunan kasus TB dunia hanya 13%.
Capaian Tiongkok itu, ungkap dia, salah satunya didorong karena pada 2023, Negeri Tirai Bambu itu menaikkan budget penangulangan TB 20 kali lebih besar bila dibandingkan dengan tahun 2021.
Langkah yang sama, tegas Tjandra, dapat juga dilakukan di Indonesia.
Kolaborasi multisektor, menurut Tjandra, harus segera diwujudkan. Peran generasi muda, tambah dia, penting untuk proses penanggulangan TB dan sosialisasi regulasi kesehatan secara umum.
Ahli Antropologi Kesehatan - Universitas Airlangga Surabaya, Pinky Saptandari berpendapat, bahwa TB itu merupakan isu kesehatan yang banyak sekali balutan mitos, stigma, sosial dan budaya yang menambah kompleksitas permasalahan.
Menurut Pinky, pelayanan kesehatan untuk mengantisipasi dan pengobatan TB harus dilakukan secara holistik, integratif, komprehensif dan inklusif.
Karena, tambah dia, ketika sudah ditemukan kasus pun, orang yang terkena TB itu tidak segera melakukan pengobatan.
Pinky menegaskan, penting untuk memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan budaya dalam pengobatan TB.
Upaya pengobatan TB, tegas dia, butuh keterlibatan aktif para pemimpin, tokoh-tokoh agama, dan pendidik dalam upaya mengeliminasi TB di Indonesia.
Dokter praktisi pengobatan TB, Bobby Singh mengungkapkan, dalam upaya mengeliminasi kasus TB pihaknya yang berpraktik di salah satu rumah sakit swasta, ikut memberi edukasi terhadap masyarakat terkait bahaya TB.
Dalam satu hari, menurut Bobby, sekitar 400-450 penderita TB berobat ke rumah sakit di tempat praktiknya. Pengobatan TB, tambah dia, biasanya dilakukan dengan dosis tetap.
Namun, tegas Bobby, pada kasus tertentu juga dibutuhkan obat lepasan bagi penderira TB yang resisten terhadap obat tertentu. Diakui Bobby, ketersediaan obat Rifampisin dan INH saat ini sangat terbatas untuk pengobatan TB.
Country Officer WHO Indonesia, Setiawan Jati Laksono mengungkapkan sebelum 2013 deteksi TB memakai surveillance rutin, sehingga jumlah temuan kasus lebih rendah.
Pada tahun 2021 hingga sekarang, jelas Setiawan, pendataan TB menggunakan dynamic model sehingga angka jumlah kasus sangat terkait dengan performa program.
Diakui Setiawan, angka kasus TB di Indonesia memang terbilang tinggi, karena kita belum mampu mengendalikan faktor-faktor pemicu TB.
Selain itu, tambah dia, tindakan pencegahan belum bisa dilakukan dengan baik.
Upaya pengobatan yang tidak tuntas, tegas dia, akan menjadi beban dalam upaya eliminasi TB di tanah air.
Saat ini diakui Setiawan, Indonesia sudah mengalami recovery dalam penanganan TB sehingga temuan kasus cenderung meningkat dan bisa segera diobati.
Menurut dia, upaya kolaborasi lintas sektor dan lintas program dalam penanggulangan TB membutuhkan pendanaan yang utuh. Selama ini pendanaan TB, tambah dia, hanya terpenuhi kurang dari 50% target. ***