Peringati Hari Konstitusi, Ketua MPR RI Ingatkan Konstitusi Jangan Lagi Ditafsirkan Menurut Selera
Bambang Soesatyo mengingatkan peringatan Hari Konstitusi adalah momentum penting untuk menyegarkan kembali memori kolektif bangsa
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Ketua MPR RI ke-16 sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan peringatan Hari Konstitusi adalah momentum penting untuk menyegarkan kembali memori kolektif bangsa serta mengevaluasi praktik penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan. Selain, merefleksikan perjalanan kehidupan bangsa, apakah sudah selaras dengan tujuan negara, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Dalam perjalanan selanjutnya, sebelum terjadinya amandemen pertama hingga keempat 1999-2002 implementasi konstitusi dalam praktik penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami deviasi, tidak lagi dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Konstitusi ditafsirkan menurut selera, dan bukan lagi merujuk pada tujuan awal (original intent) dan itikad / niat baik (good intent) dari rumusan naskah UUD. Hingga pada akhirnya, hantaman krisis
moneter menjadi pintu masuk bagi amendemen terhadap konstitusi.
Amendemen terhadap konstitusi merupakan bagian dari jawaban atas arus deras Reformasi yang menuntut pembenahan dan penataan kembali sistem ketetanegaraan, salah satunya UUD 1945, agar tidak ditafsirkan, diterjemahkan, dan diimplementasikan secara sepihak dan sewenang-wenang.
Namun Ironisnya kini setelah 26 tahun reformasi menghantarkan euforia demokrasi, kini mulai muncul wacana untuk mengkaji kembali opsi amendemen terhadap UUD 1945, untuk mengoreksi kembali hasil amendemen konstitusi yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2002.
"Dalam konsepsi ini konstitusi jangan hanya dimaknai sebagai lembaran dokumen hukum. Karena sejatinya ia mengandung pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah nilai-nilai luhur bangsa yang hanya akan bermakna ketika membumi dalam ruang realita," ujar Bamsoet dalam perayaan Hari Konstitusi dan HUT ke-79 MPR RI di Gedung Parlemen Jakarta, Minggu (18/8/24).
Hadir antara lain Wakil Presiden RI K.H. Ma'ruf Amin, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarif Hasan, Hidayat Nur Wahid, Fadel Muhammad, Yandri Susanto dan Amir Uskara. Hadir pula Ketua DPD AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Menparekraf Sandiaga Uno serta Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini ini memaparkan, sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, implementasi konstitusi sebagai hukum dasar telah melewati pergumulan sejarah dan dinamika peradaban. Mulai dari pemberlakuan UUD Tahun 1945, UUD Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara, UUD NRI Tahun 1945 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, hingga saat ini UUD NRI Tahun 1945 yang telah diamendemen pada periode 1999 – 2002.
"Pengalaman sejarah di atas mengisyaratkan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak akan mungkin berhenti stagnan pada satu titik terminal sejarah. Setiap periodisasi pemerintahan akan dihadapkan pada tantangan zamannya masing-masing. Baik yang dilahirkan oleh
perubahan sosial, politik, ekonomi, kemajuan teknologi, maupun yang disebabkan dari perbedaan cara pandang kita dalam memaknai arus perubahan," kata Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menjelaskan, setelah 26 tahun era reformasi sudah waktunya untuk merenungkan kembali, bermawas diri, dan mengevaluasi, bagaimana konstitusi sebagai sumber tertib hukum yang fundamental, diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Serta bagaimana memaknai kembali peran dan kedudukan MPR, khususnya pasca empat kali amendemen konstitusi.
Baca juga: Ketua MPR RI Bamsoet Ajak Kaji Makna Kemerdekaan Dalam Kehidupan Kebangsaan
Memaknai konstitusi sebagai sumber tertib hukum yang fundamental harus dikonstruksikan dalam konsepsi bahwa sebuah konstitusi harus “hidup” (living constitution), yang mampu menjawab setiap tantangan dan dinamika zaman. Konstitusi juga harus “bekerja” (working constitution) yang benar-benar dijadikan rujukan dan diimplementasikan secara nyata dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Demikian pula memaknai kembali kedudukan dan peran MPR, harus dirujuk dari perspektif MPR sebagai satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional tertinggi, antara lain mengubah dan menetapkan UUD. Disamping sebagai satu-satunya lembaga negara yang paling merepresentasikan daulat rakyat, dalam bentuk aspirasi politik dan kepentingan daerah. Karena MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD," papar Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menguraikan, dalam konteks konstitusi banyak negara yang mentransformasikan semangat perubahan melalui perubahan konstitusi. Negara-negara demokrasi terbesar di dunia pun tidak anti dengan amendemen konstitusi. Amerika Serikat telah mengubah konstitusi sebanyak 27 kali. India telah mengubah konstitusi sebanyak 106 kali selama periode 1950 hingga 2023.
"Pada hakikatnya sedemokratis apapun pemerintahan dijalankan dan setinggi apapun komitmen kita jalankan, tidak akan pernah menemui titik kesempurnaan. Serumit apapun dinamika politik yang kita jalani, tidak boleh mengorbankan pilar-pilar fundamental dalam kehidupan berbangsa kita, yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan sesanti Bhinneka Tunggal Ika," pungkas Bamsoet. (*)