Kisah Kawin Emas dan Sepotong Ikan Emas
Suasana tiba-tiba hening dan senyap. Tiba-tiba, samar-samar terdengar isak tangis si istri pejabat senior.
Editor: Mohamad Yoenus
TRIBUNNEWS.COM - Dikisahkan, di sebuah gedung pertemuan yang amat megah, seorang pejabat senior istana sedang menyelenggarakan pesta ulang tahun perkawinannya yang ke-50.
Peringatan kawin emas itu ramai didatangi oleh tamu-tamu penting seperti para bangsawan, pejabat istana, pedagang besar serta seniman-seniman terpandang dari seluruh pelosok negeri.
Bahkan kerabat serta kolega dari kerajaan-kerajaan tetangga juga hadir.
Pesta ulang tahun perkawinan pun berlangsung dengan megah dan sangat meriah.
Setelah berbagai macam hiburan ditampilkan, sampailah pada puncak acara, yaitu jamuan makan malam yang sangat mewah.
Sebelum menikmati jamuan tersebut, seluruh hadirin mengikuti prosesi penyerahan hidangan istimewa dari sang pejabat istana kepada istri tercinta.
Hidangan itu tak lain adalah sepotong ikan emas yang diletakkan di sebuah piring besar yang mahal.
Ikan emas itu dimasak langsung oleh koki kerajaan yang sangat terkenal.
“Hadirin sekalian, ikan emas ini bukanlah ikan yang mahal. Tetapi, inilah ikan kegemaran kami berdua, sejak kami menikah dan masih belum punya apa-apa, sampai kemudian di usia perkawinan kami yang ke-50 serta dengan segala keberhasilan ini," kata sang pejabat senior dalam pidato singkatnya.
"Ikan emas ini tetap menjadi simbol kedekatan, kemesraan, kehangatan, dan cinta kasih kami yang abadi.”
Lalu, tibalah detik-detik yang istimewa.
Seluruh hadirin tampak khidmat menyimak prosesi tersebut.
Pejabat senior istana mengambil piring, lalu memotong bagian kepala dan ekor ikan emas.
Dengan senyum mesra dan penuh kelembutan, ia berikan piring berisikan potongan kepala dan ekor ikan emas tadi kepada istrinya.
Ketika tangan sang isteri menerima piring itu, serentak hadirin bertepuk tangan dengan meriah sekali.
Untuk beberapa saat, mereka tampak ikut terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan mengharukan tersebut.
Suasana tiba-tiba hening dan senyap. Tiba-tiba, samar-samar terdengar isak tangis si istri pejabat senior.
Sesaat kemudian, isak tangis itu meledak dan memecah kesunyian gedung pesta.
Para tamu yang ikut tertawa bahagia mendadak diam menunggu apa gerangan yang bakal terjadi.
Sang pejabat tampak kikuk dan kebingungan. Lalu ia mendekati istrinya dan bertanya, “Mengapa engkau menangis, isteriku?”
Setelah tangisan reda, sang istri menjelaskan, “Suamiku…sudah 50 tahun usia pernikahan kita. Selama itu, aku telah melayani dalam duka dan suka tanpa pernah mengeluh," ujar seorang istri.
"Demi kasihku kepadamu, aku telah rela selalu makan kepala dan ekor ikan emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, di hari istimewa ini engkau masih saja memberiku bagian yang sama. Ketahuilah suamiku, itulah bagian yang paling tidak aku sukai.”
Pejabat senior terdiam dan terpana sesaat.
Lalu dengan mata berkaca-kaca pula, ia berkata kepada istrinya,” Isteriku yang tercinta, 50 tahun yang lalu saat aku masih miskin, kau bersedia menjadi istriku. Aku sungguh-sungguh bahagia dan sangat mencintaimu," ujarnya.
"Sejak itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan bekerja keras, membahagiakanmu, membalas cinta kasih dan pengorbananmu.”
Sambil mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan, “Demi Tuhan, setiap makan ikan emas, bagian yang paling aku sukai adalah kepala dan ekornya. Tapi sejak kita menikah, aku rela menyantap bagian tubuh ikan emas itu. Semua kulakukan demi sumpahku untuk memberikan yang paling berharga buatmu.”
Lalu ia melanjutkan lagi, “Walaupun telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan aku, jika hingga detik ini belum tahu bagaimana cara membuatmu bahagia.”
Akhirnya, sang pejabat memeluk istrinya dengan erat.
Tamu-tamu terhormat pun tersentuh hatinya melihat keharuan tadi dan mereka kemudian bersulang untuk menghormati kedua pasangan tersebut.
Mungkin saja terjadi, suami-istri yang saling mencintai dan hidup satu rumah selama bertahun-tahun lamanya, tetapi tidak ada saling keterbukaan dalam komunikasi.
Maka kemesraan mereka sesungguhnya rawan dengan konflik.
Kebiasaan memendam masalah itu cukup riskan karena seperti menyimpan bom waktu dalam keluarga.
Kalau perbedaan tetap disimpan sebagai ganjalan di hati, tidak pernah dibicarakan secara tulus dan terbuka, dan ketidakpuasan terus bermunculan, maka konflik akan semakin tak tertahankan dan akhirnya bisa meledak.
Jika keadaan sudah seperti ini, tentulah luka yang ditimbulkan akan semakin dalam dan terasa lebih menyakitkan.
Mari kita selalu membangun pola komunikasi yang terbuka dengan dilandasi kasih, kejujuran, kesetiaan, kepercayaan, pengertian dan kebiasaan berpikir positif.
Ketika bertemu dengan orang yang pernah salah-paham pada kita, maka gunakan waktu tersebut untuk menjelaskannya.
Mungkin saja kita hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskan. (Instisari, YDA)