Anggapan Gen Z Tak Bisa Kerja Jadi Stigma, Dasep Suryanto Curiga Masalahnya di Kepemimpinan
Gen Z dianggap sebelah mata. Di media sosial ramai pembicaraan mengenai kekurangan orang-orang di generasi tersebut.
Penulis: Willem Jonata
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata
TRIBUNEWS.COM, JAKARTA - Gen Z dianggap sebelah mata. Di media sosial ramai pembicaraan mengenai kekurangan orang-orang di generasi tersebut.
Banyak yang mengeluhkan mereka sulit diatur, gampang tersinggung dan dengan mudah memutuskan keluar dari pekerjaan, termasuk menuntut gaji besar padahal skill-nya rata-rata. Pada akhirnya muncul stigma gen Z tak bisa kerja.
Maka tak heran jika survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 9,9 juta penduduk berusia 15-25 tahun menganggur.
Kondisi menganggur menurut survei tersebut didominasi oleh perempuan muda yakni 5,73 juta orang. Sedangkan laki-laki muda 4,17 juta.
Dan mereka semua masuk dalam kategori Gen Z, atau mereka yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012.
Pakar Kepemimpinan Dasep Suryanto curiga bahwa stigma tersebut bisa jadi sepenuhnya bukan kesalahan Gen Z.
Tapi masalahnya terletak pada kepemimpinan.
Menurut dia, masalah utama dari kepemimpinan bukanlah gap generasi, melainkan minimnya penerapan skill komunikasi pimpinan yang mestinya dapat merangkul seluruh kalangan, serta mengharmonisasi pola kerja antar generasi.
"Kita ambil contoh Generasi Z. Tumbuh kembang mereka di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan informasi tentu akan menghadirkan pola pikir yang akan jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Sebut saja Baby Boomer, Gen X, dan bahkan Milenial," terang Dasep yang saat ini menjabat sebagai Human Capital & Legal Director Java Corp.
Oleh karenanya, lanjut Dasep, kurang tepat rasanya apabila kita melihat perbedaan yang dimiliki Gen Z sebagai sebuah kekurangan.
"Kemampuan mereka dalam menemukan terobosan, serta cara-cara baru yang jauh lebih praktis dalam menghadapi tantangan di bidangnya, justru harus diterima sebagai potensi besar untuk memajukan perusahaan. Jadi masalahnya bukan di Gen Z-nya, tapi justru di komunikasinya," terang Dasep.
Dasep menilai, dengan komunikasi yang efektif dan tepat sasaran, seorang Pemimpin akan mampu menakhodai organisasi yang dipimpinnya, tanpa memandang muda dan tua.
Sejak setahun terakhir, Dasep Suryanto tercatat aktif dalam memberikan pelatihan kepemimpinan terhadap para pelaku bisnis di Tanah Air.
Pengalaman kerja selama lebih dari 27 tahun sebagai Praktisi SDM & Kepemimpinan di sejumlah Perusahaan Besar di Indonesia, membuatnya paham betul akan permasalahan yang banyak dihadapi para pemimpin. Terutama dalam hal berkomunikasi.
"Harapan saya, Indonesia kedepannya tidak akan kekurangan stok para pemimpin. Terutama dari kalangan muda. Itu mengapa saya terus berusaha mengasah kemampuan para pemimpin dan calon pemimpin lewat pelatihan-pelatihan yang saya buat."
Untuk misinya ini, Dasep bahkan menggratiskan biaya pelatihan. Ia juga baru saja meluncurkan edisi revisi dari buku best seller keduanya, Speak To Lead, di mana ia menghadirkan 28 strategi komunikasi kepemimpinan dengan penjelasan yang lebih detail, serta solusi dari berbagai permasalahan yang sering dihadapi para Pemimpin.
Uniknya, baik pelatihan maupun buku keduanya tersebut, hanya ia edarkan secara eksklusif melalui website dan akun social media pribadinya. Ia pun memiliki alasan tersendiri di balik keputusannya itu.
Tujuan utamanya agar yang mengikuti pelatihan, maupun yang membeli buku saya, bisa terpantau sejauh mana kemampuan komunikasi mereka meningkat.
Baca juga: Kurangi Pengangguran Gen Z, Perguruan Tinggi Dituntut Cetak Lulusan yang Relevan Kebutuhan Industri
Masing-masing dari mereka nantinya akan memiliki akses khusus untuk berkonsultasi terkait permasalahan yang mereka hadapi, sehingga dapat terus berkembang dan bersama-sama meraih goals yang diinginkan," tegas Dasep.