Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Guru Besar UIN Alauddin Makassar Sebut Mustahil Tokoh Luar Pulau Jawa Terpilih Jadi Presiden

Guru Besar Emeritus UIN Alauddin Makassar, M Qashim Mathar tegas mengatakan tokoh yang bukan keturunan Jawa mustahil memimpin Indonesia.

Editor: Adi Suhendi
zoom-in Guru Besar UIN Alauddin Makassar Sebut Mustahil Tokoh Luar Pulau Jawa Terpilih Jadi Presiden
Kompas/ Arum Tresnaningtyas
Ilustrasi Pemilu. Guru Besar Emeritus UIN Alauddin Makassar, M Qashim Mathar tegas mengatakan tokoh yang bukan keturunan Jawa mustahil memimpin Indonesia. Hal tersebut diungkapkannya dalam alam diskusi Program Memilih Damai dengan tema Masihkan Berlaku The Iron Law of Indonesia Politics Jawa Adalah Kunci Pada Pemilu 2024? yang digelar di Aula Prof Syukur Abdullah, FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Senin (14/11/2022). 

TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Guru Besar Emeritus UIN Alauddin Makassar, M Qashim Mathar tegas mengatakan tokoh yang bukan keturunan Jawa mustahil memimpin Indonesia.

"Jawaban saya bukan harus. Tapi wajib," kata Qashim saat menjadi pembicara dalam diskusi Program Memilih Damai dengan tema "Masihkan Berlaku The Iron Law of Indonesia Politics 'Jawa Adalah Kunci' Pada Pemilu 2024?" yang digelar di Aula Prof Syukur Abdullah, FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Senin (14/11/2022).

Menurut Qashim, selama ini kepala rakyat Indonesia selalu diisi dengan presiden adalah orang Jawa.

Termasuk beberapa presiden yang terpilih sebelumnya.

Adapun Presiden bukan orang Jawa yang pernah ada bukan karena dipilih langsung rakyat, tapi hanya sebagai pengganti.

"Mustahil tokoh luar Pulau Jawa terpilih menjadi presiden," katanya.

Baca juga: Pengamat: Tak Mesti Jawa, Sumatera, atau Sulawesi, Semua Warga Negara Punya Hak Jadi Presiden

Prof Qashim menjelaskan bahwa polarisasi menyambut Pilpres 2024 ini tidak kalah kencang dengan Pilpres sebelumnya.

Berita Rekomendasi

Polarisasi, kata dia, akan terus terjadi bahkan bisa makin kencang ke depannya.

Sehingga, kata dia, orang yang harus memimpin Indonesia adalah orang Jawa.

Sebab presiden yang terpilih selalu mengandalkan kekuatan uang dan juga oligarki.

"Kalau tidak ada seperti itu pasti kalah," katanya.

Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa proses seperti itu didukung peraturan yang ada selama ini.

"Undang-undang pemilu sama sekali tidak mendukung untuk mengubah keadaan ini," katanya.

Ia menyebutkan politisi sebenarnya tidak pernah jenuh.

Baca juga: Yakin Bisa Jadi Penerus Jokowi, Nelayan Semarang Dukung Ganjar-Erick Thohir di Pilpres 2024

Bahkan banyak di antara mereka pindah-pindah partai.

"Semua ingin terpilih dan berteriak capresnya paling sempurna. Itu jualan politisi. Bukan hal baru. Semuanya nyaris omong kosong," tambahnya.

Menurutnya sampai saat ini presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik.

"Presiden yang terpilih tidak otomatis yang terbaik karena kita belum punya peraturan dalam undang-undang pemilu yang memaksa rakyat kita dan bangsa kita orang paling ideal yang terpilih," katanya.

Sementara itu pendiri lembaga survei Cyrus Network, Hasan Nasbi Hasan Nasbi menyebut para pemilih di Indonesia harus legowo melihat pulau Jawa yang menjadi lumbung suara pada setiap penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).

"Kalau bicara dalam konteks Jawa kita harus memahami dalam beberapa pengertian kalau Jawa adalah sebuah pulau itu dalam berbagai survei, komposisi hampir 60 persen berdiam di Pulau Jawa," jelas Hasan Nasbi.

"Jadi kalau kita sederhanakan 60 persen Jawa, 20 Sumatera, 20 lagi itu gabungan dari Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku sampai Papua. Jabar tambah Jakarta aja lebih besar dari Indonesia Timur," lanjut alumni Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.

Bahkan ia menyampaikan jumlah populasi di Pulau Jawa terbanyak di dunia.

Baca juga: Jokowi Dukung Prabowo, Pengamat: Bukan Menjatuhkan Pilihan, Hanya Mendorong Ikut Pilpres 2024

"Jawa itu the most populated island in the world. Bahkan penduduk pulau Jawa lebih besar dari Rusia," kata Hasan Nasbi.

Dalam politik, Hasan mengibaratkan pulau Jawa seperti kolam ikan.

Besarnya penduduk pulau Jawa bisa menjadikan sebagai kunci menduduki kursi presiden.

"Dalam konteks politik elektoral, Jawa sebagai pulau kayak dalam satu kolam ikannya banyak. Memancing pemilu kayak memancing ikan, kemungkinan dapat pemilihnya banyak di sana. Karena geografis kecil tapi pemilihnya banyak. Pasarnya memang di Jawa," katanya.

Dengan sistem satu orang untuk satu suara, maka Jawa dinilai tetap menjadi kunci dalam Pemilu 2024.

Hasan Nasbi pun juga meninjau Jawa dari segi etnis dan kultur.

"Dalam konteks etnis dan kultur, nama pulaunya Jawa, tapi ada orang Banten, Sunda, Madura baru disebut Jawa. Kalau data BPS orang yang etnis Jawa itu 45 persen, Sunda 17 persen," lanjutnya.

Dari jumlah tersebut, etnis Jawa dinilai sebagai mayoritas.

Etnis Jawa pun telah tersebar luas di seluruh penjuru nusantara melalui diffusion of national culture atau penyebaran budaya nasional.

"Dari sisi kultural, Jawa ini mayoritas. Jawa ini ada dulu diffusion of national culture dengan program transmigrasi. Jadi dioper ke mana-mana karena Jawa terlalu padat. Ada ke Aceh, Kalimantan, Sulawesi," kata Hasan Nasbi.

Maka dari itu, suara etnis Jawa yang tersebar ini bisa mempengaruhi berbagai wilayah.

"Makanya orang yang berkultur Jawa, beretnis Jawa, tidak hanya di pulau Jawa. Kayak di Lampung itu mayoritas Jawa, 62 persen itu Jawa. Di Sumatera Utara juga, di Kalimantan Timur juga. Beda Sunda yang banyak terkonsentrasi di Jawa Barat. Sulsel juga berdifusi ke mana-mana, utamanya di Indonesia Timur dan Kalimantan," katanya.

Hasan Nasbi mengakui ikatan kultur etnis Jawa sangat kuat.

Sebab, kompleksitas budaya Jawa dalam menjalani kehidupan.

Kekuatan etnis ini pun dinilai bisa mempengaruhi suara.

"Hebatnya Jawa menurut saya ikatan identitas kultural. Budaya Jawa kompleks sekali, apapun mengenai aturan hidup ada. Menentukan tanggal, jodoh ada rumusnya, termasuk juga menentukan pemimpin. Pemikiran politik Jawa itu ada," jelas Hasan.

"Makanya orang Chinese di Jawa jadi orang Jawa. Makanannya Jawa, bahasanya Jawa. Beda di Kalimantan, bisa bahasa Mandarin. Begitu kuatnya kultur itu, di Jawa-kan," lanjutnya.

Hasan pun mencontohkan sebaran suara pada Pemilu 2024.

Jokowi sebagai etnis Jawa berhasil menang di daerah seperti Jateng, Jatim hingga Lampung.

Namun, Jokowi tumbang di Jabar yang mayoritas etnis Sunda.

"Dalam konteks nasional, Jokowi di Jabar tidak berdaya, tapi di Jateng, Jatim, Yogya menang besar. Di Lampung juga menang besar. Kalau kita baca data berarti ada kecenderungan etnisitas itu ada," kata Hasan. (faqih imtiyaaz/wahyudin tamrin/hasim arfah)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas