Perludem: Uji Materi Soal Sistem Proporsional Terbuka Mengajak MK Masuk ke Ranah Keputusan Politik
Menurut Perludem uji materi tersebut tidak tepat karena mengajak Mahkamah Konstitusi masuk ke ranah keputusan politik.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai permohonan uji materi terhadap sistem proporsional terbuka yang ada di dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tidak tepat.
Menurutnya uji materi tersebut tidak tepat karena mengajak Mahkamah Konstitusi masuk ke ranah keputusan politik.
Baca juga: Plt Ketua Umum PPP Mardiono: Kami Sudah Berpengalaman Ikut Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup
Padahal, kata dia, ranah tersebut seharusnya diputuskan oleh pembentuk undang-undang.
Hal tersebut disampaikannya dalam acara Solidarity Talk bertajuk Pro-Kontra Sistem Proporsional Tertutup di Basecamp DPP PSI Jakarta Pusat pada Kamis (5/1/2023).
"Soal sistem, kalau dalam pandangan saya uji materi ke Mahkamah Konstitusi ini tidak tepat, karena mengajak Mahkamah Konstitusi masuk dalam ranah keputusan politik yang seharusnya diputuskan oleh pembentuk undang-undang melalui suatu proses yang terbuka, transparan, akuntabel, partisipatoris, dan demokratis," kata Titi.
Ia menjelaskan sistem pemilu legislatif tidak diatur dalam konstitusi.
Sistem pemilu legislatif yang diatur dalam pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebut peserta pemilu legislatif DPR/DPRD adalah partai politik.
Baca juga: PSI Menolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Namun demikian, menurutnya bunyi pasal tersebut tidak bisa dianggap bahwa sistem pemilu yang konstitusional adalah sistem tertutup karena seolah kalau dalam pemaknaan sistem tertutup peserta pemilunya adalah partai.
"Karena kalau sistem terbuka pun peserta pemilu yang menentukan siapa caleg kan tetap partai politik. Jadi pasal 22E itu tidak bisa disederhanakan bahwa peserta pemilu partai politik, maka sistem pemilunya tertutup," kata dia.
Ia melanjutkan karena konstitusi tidak mengatur sistem pemilu secara spesifik, maka pilihan dari sistem pemilu terkait mekanisme pemberian suara yang berkaitan dengan tertutup, terbuka, dan lain sebagainya, merupakan ranah dari pembentuk undang-undang.
Baca juga: HNW: Hanya Satu Partai di DPR yang Mendukung Pemilu Proporsional Tertutup
Ranah pembentuk undang-undang, kata dia, adalah melahirkan konsensus politik yang dicapai secara demokratis, melibatkan masyarakat dalam partisipasi bermakna, proses yang terbuka, transparan, dan akuntabel.
"Dia tidak boleh diambil alih oleh Mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa yang terbuka itu adalah konstitusional, yang tertutup adalah konstitusional," kata Titi.