Pengamat: Pidato Jokowi yang Berapi-api di Musra Tunjukkan Ada yang Belum Selesai di Pemerintahannya
Pangi menilai pidato Jokowi di acara Musra adalah wujud gagalnya pemerintahan di bawah komandonya dan meminta untuk dicari solusinya.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Analis Politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berapi-api saat menghadiri acara Puncak Musyawarah Masyarakat (Musra) pada Minggu (14/5/2023) di Istora Senayan, Jakarta seperti mempertontonkan kegagalan pemerintahan di bawah kepemimpinannya.
Menurutnya, Jokowi terkesan memperlihatkan bahwa banyak masalah yang kini belum terselesaikan di bawah kepemimpinannya dan meminta agar pemerintahan selanjutnya mencarikan jalan keluar.
"Demikian juga konteks pidato Jokowi sebagai seorang presiden, pidato ini penuh dengan gambaran lemahnya pemerintahan sekarang yang harus diselesaikan dan carikan jalan keluarnya oleh pemerintahan mendatang. Ini seperti kata pepatah 'menepuk air di dulang terpercik muka sendiri', artinya Jokowi sedang mempertontonkan kegagalannya memimpin dalam sembilan tahun terakhir," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/5/2023).
Selain itu, dalam konteks Pilpres 2024, Pangi melihat pidato berapi-api Jokowi di acara Musra tersebut bukan seperti sosok 'king maker' tetapi layaknya capres yang sedang berkampanye.
Baca juga: PPP Yakin Hasil Musra yang akan Dibisikkan Jokowi ke Parpol Adalah Nama Ganjar Pranowo
Hal itu, sambungnya, dapat dilihat dari jargon politik dengan selalu membawa nama 'rakyat'.
"Lebih jauh jika kita cermati pidato berapi-api Jokowi di hadapan relawan yang penuh dengan harapan, janji, dan jargon politik yang selalu membawa-bawa nama 'rakyat', sepertinya ada sesuatu yang belum selesai. Pidato berapi-api di hadapan relawan ini seperti menimbulkan kesan bahwa Jokowi lebih terlihat sebagai seorang calon presiden ketimbang 'King Maker'," ujar Pangi.
Jokowi Layaknya Politisi Gila Kuasa
Di sisi lain, Pangi melihat ada tiga pesan yang ingin disampaikan Jokowi saat menghadiri puncak acara Musra tersebut.
Pertama, adanya pesan dari Jokowi agar internal relawan untuk tetap bahu membahu melakukan penguatan soliditas relawan.
Kedua, menunjukkan pesan kepada partai politik (parpol) agar memperhitungkan suara relawan Musra.
"Ketiga, selain dukungan partai politik, saya (Jokowi) masih punya dukungan jejaring yang kuat di akar rumput melalui simpul-simpul relawan," tuturnya.
Kendati demikian, Pangi mengungkapkan langkah Jokowi tersebut justru menimbulkan kesan buruk bagi dirinya sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Menurutnya, sikap Jokowi tersebut bukan seperti seorang presiden tetapi justru layaknya politisi gila kuasa.
"Seorang presiden sudah selayaknya naik level menjadi seorang negarawan bukan hanya sekedar politisi pragmatis gila kuasa," jelasnya.
Baca juga: Pangi: Manuver Moeldoko Coreng Wajah Presiden, Jokowi Harusnya Pecat Dengan Tidak Hormat
Bahkan, sikap Jokowi lain terkait Pemilu 2024 seperti melakukan negosiasi hingga memberikan dukungan secara terbuka justru memberikan sinyal berbahya terkait netralitas pejabat publik.
Pangi pun melihat apa yang dilakukan Jokowi tersebut semakin menunjukan adanya sinyal kuat kecurangan Pemilu 2024.
"Terlibat aktif dalam melakukan negosiasi bahkan menunjukkan dukungan secara terbuka akan memberikan dampak negatif yang sangat berbahaya terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti, netralitas akan menjadi isapan jempol baik dari penyelenggara dan bahkan dari aparat negara yang lain (ASN, TNI-Polri)."
"Itu artinya penyelenggaraan pemilu yang curang sudah di depan mata," katanya.
Kriteria Jokowi soal Presiden Selanjutnya
Diketahui, dalam puncak Musra, Jokowi memberikan pidatonya yang menggebu-gebu di depan puluhan ribu relawan.
Ia juga membeberkan kriteria presiden selanjutnya yang harus dipertimbangkan untuk dipilih seperti dekat, paham, dan mau bekerja keras dengan rakyat.
"Rakyat Indonesia butuh pemimpin yang tepat dan benar. Yang dekat dengan rakyat, yang paham hati rakyat, yang tahu kebutuhan rakyat, yang mau bekerja keras untuk rakyat" ujarnya dengan berteriak, dikutip dari YouTube Kompas TV.
Selain itu, Jokowi ingin agar pemimpin harus menjadi sosok pemberani bagi rakyat.
Baca juga: Pakar Politik: Secara Semiotika Pidato Jokowi Saat Musra Mengarah ke Ganjar
Mantan Wali Kota Solo itu juga menginginkan agar capres selanjutnya paham potensi bangsa Indonesia.
"Dan pemimpin itu harus paham memajukan negara ini, dari sisi mana dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Bukan rutinitas, bukan hanya duduk di sana dan tanda tangan, bukan itu."
"Dia harus tahu bagaimana membangung strategi negara, strategi ekonomi, dan strategi politiknya harus ada semuanya karena kita berhadapan dengan negara-negara lain," katanya.
Lebih lanjut, mengutip pakar, Jokowi mengungkapkan kemajuan Indonesia akan terjadi dalam 13 tahun ke depan.
Hal tersebut lantaran bonus demografi Indonesia akan berada dalam puncaknya pada tahun 2030 mendatang.
Baca juga: Jokowi Dinilai Tak Memiliki Pilihan Lain Kecuali Mereshuffle Menkominfo Johnny G Plate
Jokowi mengatakan momentum bonus demografi ini harus dimanfaatkan untuk memajukan Indonesia.
Sehingga, sambungnya, jika rakyat Indonesia keliru memilih pemimpin masa depan, maka hilang kesempatan Indonesia untuk menjadi negara maju.
"Hati-hati mengenai (memilih pemimpin) ini, hati-hati," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pemilu 2024