Survei Indikator Politik: Mayoritas Publik Inginkan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Berikut hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menyebut mayoritas publik ingin sistem pemilu proporsional terbuka.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Wahyu Gilang Putranto
Informasi tambahan, survei menggunakan metode multistage random sampling.
Survei dilakukan dalam dua periode waktu lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih.
Baca juga: Gerindra Minta Mahkamah Konstitusi Dengar Suara Rakyat Putuskan Pemilu Pakai Proporsional Terbuka
Dalam survei Periode 9-16 Februari 2023 jumlah sampel sebanyak 1.220 orang.
Sampel berasal dari seluruh Provinsi yang terdistribusi secara proporsional, dengan asumsi metodesimple random sampling, ukuran sampel 1.200 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error--MoE) sekitar ±2.9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen .
Dalam survei Periode 12-18 Maret 2023 jumlah sampel sebanyak 800 orang.
Sampel berasal dari hampir semua Provinsi yang terdistribusi secara proporsional, dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 800 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error--MoE) sekitar ±3.5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen .
Kekurangan sistem proporsional tertutup pemilu
Bawono kemudian membeberkan kekurangan sistem proporsional tertutup pemilu.
Sistem ini akan membuat ikatan antara pemilih dan calon legislatif (caleg) menjadi lemah.
Caleg akan merasa lebih penting membangun relasi dengan elite partai agar terpilih.
Baca juga: PDIP: Mau Pemilu Sistem Proporsional Tertutup atau Terbuka Kita Siap, Tetap Menang
Dalam sistem proses proporsional tertutup, tidak lagi menampilkan nama-nama dan foto calon legislatif.
Hanya ada hanya tanda gambar parpol sebagai peserta pemilu.
"Berbeda dengan sistem proporsional terbuka, di mana caleg akan dipaksa membangun relasi dan komunikasi dengan para calon pemilih," tandas Bawono.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)