Guru Besar UI: Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu Harusnya Sudah Tak Jadi Soal
Valina Singka Subekti menjelaskan isu keterwakilan perempuan adalah perkara lama.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keterwakilan perempuan 30 persen harusnya sudah tak jadi soal lagi dalam Pemilu 2024.
Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti menjelaskan isu keterwakilan perempuan adalah perkara lama. Harusnya isu perempuan dalam Pemilu 2024 sudah meningkat ke fokus kualitas dan fungsi.
Pandangan Valina ini ia sampaikan saat jadi narasumber dalam diskusi daring ‘Memaknai Keterwakilan Perempuan 30 persen Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender’, Jumat (9/6/2023).
Baca juga: PKPU Soal Keterwakilan Perempuan Digugat ke MA, KPU: Kita Hormati Hak Hukum Warga Negara
Valina menuturkan, proses perjuangan soal keterwakilan perempuan 30 persen ini sudah digagas sejak Pemilu 2004 dan saat ini dengan segala peraturan yang jauh lebih baik, isu perempuan harusnya juga beralih fokus.
“Waktu 2004, pasal 65 ayat 1 itu kan masih belum, masih abu-abu, belum mewajibkan. Saat itu tapi KPU melihat bahwa karena selalu datang para aktivis perempuan ke KPU, sampai juga menteri perempuan Sri Redjeki,” ujarnya.
“Tapi sekarang kan UU sudah bagus, tiap dapil harus 30 persen perempuan, kalau enggak, enggak bisa jadi peserta pemilu dapil itu. Jadi sudah jauh lebih maju dari 2004, jadi mestinya ini tidak terjadi, karena sudah maju udah jalan secara stabil,” tambanya.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Belum Agendakan Sidang Putusan Sistem Pemilu
Dikatakan Valina, kualitas representasi politik perempuan harusnya meningkat. Bukan lagi bicara keterwakilan 30 persen tapi masuk dalam kompetisi langsung dalam pemilu serta berbicara soal kualitas dan fungsi.
“Yang perlu kan meningkatkan kualitas representasi politik perempuan kita, mempersiapkan calon-calon perempuan supaya nanti mereka bisa berkompetisi secara bagus dalam proses pemilu,” tutur Valina.
“Kemudian nanti kalau terpilih di parlemen mereka bisa benar menjalankan fungsi dengan baik. Sudah yang seperti itu kita sekarang, mestinya,” ia menambahkan.
Sehingga, dengan masih ramainya fokus permasalah dalam keterwakilan 30 persen perempuan, ia menilai tahapan pemilu saat ini mengalami kemunduran.
“Artinya ada kemunduran dalam proses penyelenggaran pemilu kita dan mungkin ini juga benar yang dikatakan berbagai survei, demokrasi kita alami kemunduran. Mengalami regresi,” kata Vallina.
Baca juga: Pegiat Pemilu: Pernyataan DPR Soal Keterwakilan 30 Persen dalam Pemilu Sudah Tercukupi Tak Sesuai UU
Polemik soal PKPU 10/2023 ini masih terus berlanjut. Terbaru, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan judicial review atau uji materi terhadap PKPU 10/2023 ke Mahkamah Agung (MA).
Fadli Ramadhanil, selaku kuasa hukum koalisi, menjelaskan pihaknya meminta MA untuk menyatakan Pasal 8 Ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.