Fix, Mantan Koruptor Dilarang Mencalonkan Diri sebagai Anggota Legislatif di Pemilu 2024
MA memerintahkan KPU mencabut aturan yang memberi karpet merah bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan seluruh permohonan uji materi terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 dan 11 Tahun 2023 perihal kemungkinan mantan terpidana korupsi maju lebih cepat menjadi calon anggota legislatif.
MA memerintahkan KPU mencabut aturan yang memberi karpet merah bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tersebut.
Dalam aturannya, lembaga itu tak mewajibkan masa jeda 5 tahun bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk nyaleg.
"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari para pemohon untuk seluruhnya," demikian bunyi amar putusan yang disebarluaskan oleh Kabiro Hukum dan Humas MA Sobandi dikutip Sabtu (30/9/2023).
Baca juga: Daftar Artis Caleg Pemilu 2024 yang Diduga Terlibat Promosi Judi Online
Uji materi ini dilayangkan oleh Indonesia Corruption Watch, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta dua mantan pimpinan KPK yaitu Saut Situmorang dan Abraham Samad.
MA menyatakan Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 tentang Pemilu jo Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 87/PUU-XX/2022 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
MA juga menyatakan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU 10/2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 182 huruf g UU 7/2017 jo Putusan MK Nomor: 12/PUU-XXI/2023 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
MA menyatakan seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh termohon (Ketua KPU RI) sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
"Memerintahkan kepada termohon untuk mencabut Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 serta seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh termohon sebagai implikasi dari pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023," kata MA.
MA juga memerintahkan kepada panitera MA untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada percetakan negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara.
"Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1 juta," lanjutnya.
Baca juga: Ganjar Akui Indonesia Banyak Masalah, Anies Mau Miskinkan Koruptor, Ini Perbandingan Gagasan Mereka
Menurut MA, pada prinsipnya penormaan jangka waktu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya.
Hal tersebut sebagaimana Putusan MK Nomor: 87/PUU-XX/2022 dan Putusan MK Nomor: 12/PUU-XXI/2023. Dengan jangka waktu tersebut, masyarakat dapat menilai calon yang akan dipilihnya secara kritis dan jernih.
Namun dalam aturannya, KPU justru meniadakan masa jeda 5 tahun bagi eks terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif.
Dengan berpandangan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa, terang MA, maka pidana tambahan berupa pencabutan hak politik merupakan penambahan efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi.
Atas dasar itu, menurut MA, seharusnya KPU menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Berdasarkan alasan tersebut, MA berpendapat objek permohonan keberatan hak uji materiil berupa Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g UU 7/2017 tentang Pemilu yang telah ditafsir dengan Putusan MK Nomor: 87/PUU-XX/2022 dan Nomor: 12/PUU-XXI/2023.
"Oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum," kata MA.
KPU belum berkomentar terkait putusan MA ini.
Sementara ICW mendesak KPU segera merevisi PKPU terkait.
"Kami sebagai Pemohon mendesak KPU untuk segera menghentikan kontroversinya dengan mematuhi putusan MA dengan merevisi PKPU 10 dan PKPU 11 Tahun 2023," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Menurut Kurnia, putusan MA ini menunjukkan bahwa aturan yang dibuat KPU bobrok.
Aturan KPU justru melanggar ketetapan yang telah dibuat Mahkamah Konstitusi (MK).
"Putusan Mahkamah Agung ini memperlihatkan secara terang benderang betapa bobrok dan melanggar hukumnya aturan yang dibuat oleh KPU. Sudah jelas bahwa Mahkamah Konstitusi menetapkan masa jeda waktu bagi mantan terpidana untuk bisa maju sebagai calon anggota legislatif adalah 5 tahun, namun KPU malah mengingkarinya," imbuh Kurnia.
Di sisi lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi putusan MA itu.
Menurut KPK, putusan MA itu selaras dengan semangat pemberantasan korupsi untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya.
Karena harapannya, pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi.
"KPK mengapresiasi putusan MA dan ICW (Indonesia Corruption Watch) sebagai pemohon atas judicial review terkait masa jeda mantan narapidana korupsi untuk ikut dalam kontestasi di Pilkada," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Sabtu (30/9/2023).
Ali menerangkan bahwa dalam histori penanganan perkara oleh KPK, pihaknya seringkali mengenakan tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada terdakwa jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan sanksi yang berakibat pada penghilangan hak politik kepada pelaku, yang bertujuan untuk membatasi partisipasi pelaku dalam proses politik, seperti hak memilih atau dipilih, sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan.
Dikatakan Ali, pencabutan hak politik juga memperlihatkan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang pelaku lakukan, telah menyalahgunakan kepercayaan publik.
Sehingga, perlu memitigasi risiko serupa dalam pengambilan keputusan politik di masa mendatang oleh mantan narapidana korupsi.
"Namun demikian, penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik tetap harus dilakukan dengan berdasar pada prinsip keadilan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia," terangnya.(tribun network/ham/dod)