Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Feri Amsari Ingatkan Gugatan Usia Capres ke MK Jangan Sampai Ganggu Tahapan Pemilu

MK tegas menolak saja permohonan itu serta tidak memutus hal-hal tentang kepemiluan yang subjeknya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Feri Amsari Ingatkan Gugatan Usia Capres ke MK Jangan Sampai Ganggu Tahapan Pemilu
Tangkapan Layar: Kanal Youtube KontraS
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari di acara diskusi publik bertajuk Kupas Tuntas Perppu Cipta Kerja bertajuk Bentuk Paripurna Ambruknya Negara Hukum dan Demokrasi di kanal Youtube KontraS, Jumat (6/1/2023). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan soal batas minimal usia calon presiden/wakil presiden maka patut diduga lembaga itu dikendalikan oleh kelompok kepentingan politik tertentu yang ingin mengganggu jalannya tahapan pemilu.

Demikian Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari dalam rekaman suara yang dikirim kepada media, Selasa (3/10/2023).

“Tentu harus menunggu betul apa putusan MK tentang itu. Tetapi memang substansi permohonan ini jika dikabulkan akan sangat mengganggu proses tahapan kepemiluan," kata Feri Amsari.

Mestinya, menurut dia, MK tegas menolak saja permohonan itu serta tidak memutus hal-hal tentang kepemiluan yang subjeknya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

"Jika tidak, maka terlihat sangat tidak konsisten dengan berbagai keputusan MK sebelumnya, dan ikut terlibat serta dikendalikan oleh kelompok kepentingan politik tertentu, yang berkaitan dengan substansi perkara yang sedang dan akan mereka putuskan,” jelas Feri Amsari.

Baca juga: Soal Uji Materi Batas Usia Capres, Sekjen PDIP: Kita Percayakan Pada Sikap Kenegarawanan Hakim MK

Ia diminta komentar soal “judicial review” atau uji materi ke MK terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan beberapa pihak lainnya.

Perkara Nomor 29, Nomor 51 dan Nomor 55 tentang syarat usia capres/cawapres minimal 35 tahun tersebut kabarnya sudah diputuskan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) MK dan hasilnya ditolak, tapi tak kunjung diumumkan.

BERITA REKOMENDASI

Sementara kabar lain menyebutkan, masuk lagi gugatan atau “judicial review” baru ke MK, yakni gugatan No 90 yang diajukan seorang mahasiswa asal Solo, Jawa Tengah, yang substansinya hampir sejenis, yakni tetap mempertahankan syarat usia minimal 40 tahun bagi capres/cawapres, namun dengan tambahan syarat “dan/atau pernah menjabat di pemerintahan seperti menjadi gubernur, walikota atau bupati”.

Dengan demikian, mereka yang belum berusia 40 tahun pun bisa maju sebagai capres/cawapres di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang jika pernah menjadi kepala daerah seperti gubernur, walikota atau bupati.

Sejumlah pihak menilai, kedua gugatan tersebut merupakan akal-akalan dari pihak-pihak tertentu untuk mengegolkan orang tertentu yang berminat menjadi capres/cawapres. Sorotan publik pun tertuju kepada Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo.

Gibran yang kini baru berusia 35 tahun, menurut Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Minggu (1/10/2023), sudah melaporkan ke DPP PDIP bahwa dirinya ditawari menjadi cawapres bagi capres dari Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Selain Gerindra, Prabowo juga didukung oleh Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat. Juga Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Gelora yang merupakan parpol non-parlemen.

Ditanya apakah misi kelompok kepentingan politik tertentu yang mengajukan gugatan batas minimal usia capres/cawapres tersebut memang untuk menggolkan sosok tertentu, atau katakanlah Gibran Rakabuming Raka, padahal gugatan itu berpotensi mengganggu tahapan pemilu, Feri Amsari menjawab diplomatis.

“Kita tidak tahu persis siapa yang sedang menjalankan misi untuk mengganggu tahapan pemilu. Tetapi kelihatan betul bahwa MK membiarkan beberapa pihak yang hendak mengganggu kewibawaan MK dan marwah hakim dengan membuat (baca: menyidangkan) perkara-perkara tertentu sehingga ada kesan seperti itu (untuk menggolkan sosok tertentu, red),” cetusnya.

Padahal, lanjut Feri, mestinya MK dalam memutus perkara tidak memberikan ruang kepada pihak-pihak tertentu untuk mengganggu proses tahapan pemilu.

“Jika pun ada hal-hal baru yang akan diputuskan MK, mestinya hal-hal baru itu diatur dalam undang-undang saja, yang merupakan kewenangan pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, bukan MK,” paparnya.

Memang, sesuai konstitusi, lembaga yang berwenang membuat undang-undang adalah pemerintah bersama DPR RI. Adapun yang dimaksud Feri Amsari sebagai kewenangan pembuat undang-undang adalah dalam konteks “open legal policy” atau kebijakan hukum terbuka.

Adapun MK kewenangannya adalah manilai atau “mengadili” sebuah undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau tidak.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas