Pengamat Politik: Uji Materi Batas Usia Capres-Cawapres di MK Lebih Kuat Unsur Politiknya
Menurut Ginting usia persyaratan capres/cawapres mestinya masuk wilayah dominasi DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang, bukan kewenangan MK
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menilai, upaya mengubah peryaratan usia calon presiden dan wakil presiden (capres/cawapres) melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) jelang pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) 2024 merupakan judikasi politik.
“Unsur politiknya lebih kuat daripada unsur hukum tata negara, karena nuansa kepentingan politiknya sangat tinggi. Itulah judikasi politik, untuk meloloskan seseorang yang terkait dengan elite politik negeri ini,” ujar Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Sabtu (14/10/2023).
Baca juga: Ketua Komite Eksekutif KAMI Wanti-wanti, MK Harus Bijak Soal Perkara Batas Usia Capres Cawapres
Menurut Ginting, usia persyaratan capres/cawapres mestinya masuk wilayah dominasi DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang, bukan kewenangan MK.
Perdebatan itu bagian dari teritori politik lembaga eksekutif dan legislatif, bukan urusan yudikatif.
Para pemohon atau penggugat, lanjut Ginting, bisa dibaca secara politik terafiliasi dengan partai politik yang punya kepentingan untuk menjadikan seseorang agar bisa lolos mengikuti kontestasi pemilihan presiden 2024.
Baca juga: Kata Mereka yang Mendukung Batas Usia Minimum Capres-Cawapres Diturunkan dari 40 Tahun
“Jadi upaya mengubah persyaratan usia capres/cawapres sarat dengan kepentingan politik praktis dan bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Inilah hukum yang dibungkus dengan aroma kepentingan politik keluarga elite negeri,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas ini.
Ginting menjelaskan, persyaratan usia capres/cawapres bagian dari perdebatan politik yang mestinya dibahas di meja parlemen, bukan untuk dibawa ke meja hijau yudikatif di MK.
Dirinya mengatakan, kunci keberhasilan parlemen antara lain dalam perdebatan atau pertarungan politik untuk menghasilkan produk undang-undang.
“Isu politik tempatnya di DPR, bukan dibahas di MK. Permohonan uji materi kasus persyaratan usia capres/cawapres, jelas bernuansa isu politik bukan isu hukum tata negara,” kata Ginting yang sedang menjalai pendidikan doktoral ilmu politik Unas.
Ginting tidak sepakat MK ditarik-tarik dalam ranah politik praktis. Tugas MK membahas isu konstitusional bukan isu politik. MK tidak boleh melakukan kooptasi masalah politik, karena bukan merupakan wilayah kewenangannya.
“Fenomena judikasi politik yang dilakukan MK sama saja dengan mematikan iklim demokrasi di Indonesia,” ujar Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik.
Sehingga, menurut Ginting, MK tidak punya wewenang untuk mengubah batas usia capres/cawapres. Serahkan saja kepada pembuat undang-undang untuk mengaturnya. Proses mengubah aturan hanya dapat dilakukan lewat lembaga legislatif.
Baca juga: Pakar Hukum UGM Sebut MK Langgar UUD 1945 Jika Kabulkan Perkara Batas Usia Capres-Cawapres
Disebutkan, aturan pembatasan usia minimal capres/cawapres tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi: "Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun".
"Tidak ada pelanggaran konstitusi di situ. Jadi MK haram untuk membatalkan maupun mengubah sebuah aturan soal syarat usia capres/cawapres, sebab tidak ada pelanggaran konstitusi dalam aturan itu,” kata Ginting.