Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ahmad Basarah Kritisi Putusan MK terkait Syarat Cawapres Pernah Menjadi Kepala Daerah

Basarah mengatakan terdapat persoalan mendasar dalam putusan MK terkait syarat pendaftaran capres-cawapres.

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Ahmad Basarah Kritisi Putusan MK terkait Syarat Cawapres Pernah Menjadi Kepala Daerah
Tribunnews/JEPRIMA
Suasana sidang permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengkritisi keputusan MK mengabulkan gugatan syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengkritisi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan syarat pendaftaran capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Basarah mengatakan bila dicermati secara detail, maka terdapat persoalan mendasar dalam putusan MK tersebut.

Baca juga: Kontroversi Putusan MK, Saldi Isra & Arief Hidayat Beberkan Kejanggalan, Singgung Gerbong Hakim

"Persoalan tersebut berkaitan dengan amar putusan. Bahwa amar putusan MK yaitu: 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," kata Basarah dalam keterangannya, Senin (16/10/2023).

Dia menjelaskan terhadap amar putusan tersebut, ada 4 hakim konstitusi yang menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda, yakni menolak permohonan tersebut.

"Terdiri dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo," ujar Basarah.

Selain itu, kata Basarah, terdapat 2 hakim konstitusi yang memiliki concurring opinion atau alasan berbeda, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh.

Berita Rekomendasi

Namun, dia menyebut bila dicermati pendapat 2 hakim konstitusi tersebut, maka sejatinya keduanya menyampaikan dissenting opinion.

Sebab, kedua hakim konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda soal amar putusan.

Basarah mencotohkan, yakni hakim konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar amar putusan seharusnya: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang".

Baca juga: Almas Sebut Inisiatif Sendiri Ajukan Gugatan ke MK, Akui Rasakan Dampak Positif Kepemimpinan Gibran

Sementara, menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, amar putusannya seharusnya: “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi".

"Artinya, sejatinya hanya 3 (tiga) orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar putusan ini (berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah)," jelas Basarah.

Sementara, 6 hakim konstitusi lainnya, memiliki pendapat berbeda berkaitan dengan amar putusan.

Karenanya, Basarah menilai sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon.

"Atau kalau pun mau dipaksakan bahwa 5 orang hakim mengabulkan permohonan, maka titik temu di antara 5 orang hakim adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah gubernur," ucapnya.

Dengan demikian, kata dia, putusan MK tidak dapat dimaknai bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebagai bupati/wali kota.

"Atas putusan yang problematik seperti ini maka sudah selayaknya untuk tidak serta merta diberlakukan karena mengandung persoalan yaitu kekeliruan dalam mengambil putusan yang berakibat pada keabsahan putusan," ungkap Basarah.

Menurut Basarah, putusan semacam ini jika langsung ditindaklanjuti KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan.

"Untuk itu sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini," imbuhnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas