Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pakar Sebut Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Tak Perlu Ubah UU Pemilu

Pakar mengungkapkan putusan MK soal batas usia capres-cawapres tak perlu mengubah UU Pemilu. Ia menyebut KPU hanya perlu mengubah PKPU.

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Sri Juliati
zoom-in Pakar Sebut Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Tak Perlu Ubah UU Pemilu
Tribunnews.com/ Fersianus Waku
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti di Cikini, Jakarta, Senin (16/10/2023). Pakar mengungkapkan putusan MK soal batas usia capres-cawapres tak perlu mengubah UU Pemilu. Ia menyebut KPU hanya perlu mengubah PKPU. 

TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengungkapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan mahasiswa Universitas Surakarta (Unsra), Almas Tsaqibbirru terkait kepala daerah boleh maju menjadi capres-cawapres meski berusia di bawah 40 tahun tak perlu mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bivitri menjelaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Sehingga, imbuhnya, hal yang perlu diubah hanyalah teknis pendaftaran capres-cawapres dalam bentuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

"Apa butuh perubahan UU? Tidak, putusan MK langsung final dan mengikat. Tidak perlu perubahan UU. Dan dalam putusannya, MK sudah mengatakan ini berlaku untuk Pemilu 2024, bukan 2029."

"Yang harus dilakukan tinggal teknis pendaftaran calon dalam bentuk Peraturan KPU," katanya kepada Tribunnews.com, dikutip Selasa (17/10/2023).

Bivitri mengatakan putusan MK sebenarnya bisa digugat kembali jika ada pihak yang ingin menggugatnya.

Baca juga: Kontroversi Putusan MK, Saldi Isra & Arief Hidayat Beberkan Kejanggalan, Singgung Gerbong Hakim

Namun, lantaran pendaftaran capres-cawapres tinggal beberapa hari lagi, maka hal tersebut tidak mungkin dilakukan.

"Yang bisa dilakukan adalah mengajukan lagi dengan batu uji dan argumen berbeda, tetapi ini tentu saja tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat dalam konteks pendaftaran calon yang tinggal tiga hari lagi," ujarnya.

Berita Rekomendasi

Lebih lanjut, Bivitri menganggap bahwa putusan MK ini sebenarnya tidak mengejutkan, tetapi cenderung mengecewakan karena mengonfirmasi adanya unsur politisasi di MK.

Bivitri menilai hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hukum (legal reasoning) dari putusan MK.

"Dari tujuh perkara yang diputuskan hari ini (Senin), ada tiga pola yaitu yang pertama batas umur saja (perkara 29/PUU-XXI/2023, (pemohon) PSI); kedua disamakan dengan penyelenggara negara (perkara 51/PUU-XXI/2023 dan 55/PUU-XXI/2023, Partai Garuda dan kepala daerah); dan ketiga disamakan dengan elected officials lainnya termasuk di level daerah," ujarnya.

Bivitri menganggap putusan MK dari ketiga perkara ini inkonsisten.

Hal tersebut lantaran ketika satu perkara ditolak dengan alasan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, maka perkara selanjutnya juga harus ditolak dengan alasan yang sama.

"Karena semua perkara itu, pola yang manapun, sebenarnya tengah meminta MK memutus suatu perkara yang sebenarnya bukan wilayah MK, alias wilayah pembentuk UU (open legal policy)," ujarnya.

"Memang untuk pola kedua dan ketiga, MK mendalilkan, bisa ada pengecualian untuk open legal policy, yaitu ketidakadilan yang intolerable, tetapi bila dicermati, pokok penalarannya bukan ketidakadilan."

"Kalau soalnya ketidakadilan, bukankah pola pertama juga seharusnya dikabulkan, karena ketidakadilan harusnya juga bisa didalilkan?" sambung Bivitri.

MK Kabulkan Gugatan Kepala Daerah di Bawah 40 Tahun Bisa Maju Pilpres

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) berbincang dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) disela-sela memimpin sidang permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi menolak gugatan batas usia capres-cawapres menjadi minimal 35 tahun dengan dua hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion yakni Suhartoyo dan Guntur Hamzah. Tribunnews/Jeprima
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) berbincang dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) disela-sela memimpin sidang permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi menolak gugatan batas usia capres-cawapres menjadi minimal 35 tahun dengan dua hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion yakni Suhartoyo dan Guntur Hamzah. (Tribunnews/JEPRIMA)

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian gugatan terkait batas usia capres-cawapres yang dilayangkan oleh mahasiswa Universitas Surakarta (Unsra), Almas Tsaqibbirru RE A.

Pada gugatannya, Almas berharap agar kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai capres/cawapres.

Dia juga meminta berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah bisa jadi capres.

Dengan diktum tersebut, MK pun mengabulkan sebagian permohonan dari Almas.

"Mengabulkan permohonan untuk sebagian," kata Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang pleno putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin (16/10/2023) dikutip dari YouTube MK.

MK memutuskan bahwa syarat capres-cawapres adalah berusia 40 tahun atau kepala daerah yang sedang atau pernah dipilih lewat pemilihan umum (Pemilu).

Selanjutnya, MK, dalam penjelasannya, membandingkan syarat usia capres saat ini yaitu 40 tahun, syarat usia gubernur 35 tahun dan syarat usia calon bupati/wali kota berusia 25 tahun, serta caleg berusia minimal 21 tahun.

Baca juga: Ramai Kontroversi Putusan MK, Anies Tak Ambil Pusing, Fokus Pendaftaran dan Periksa Kesehatan

MK menilai aturan semacam ini tidak selaras dengan semangat konstitusi.

"MK berpendapat kepala daerah layak berpartisipasi dalam kontestasi dalam Pemilu meskipun berusia 40 tahun," ujar hakim MK, Guntur Hamzah.

Hamzah berpendapat bahwa pembatasan usia minimal capres-cawapres 40 tahun bisa berpotensi untuk menghalangi kalangan anak muda menjadi pemimpin negara.

Selain itu, sambungnya, syarat semacam itu turut menimbulkan ketidakadilan dalam konteks Pilpres.

"Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang intelorable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden," kata Hamzah.

Sementara bunyi putusan dikabulkannya gugatan ini yaitu:

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihakn kepala daerah," kata Anwar Usman.

Putusan ini pun berlaku mulai Pilpres 2024.

Isi Gugatan Singgung Gibran

Dalam gugatannya, pemohon turut menyinggung soal Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.

Ia menganggap bahwa Gibran merupakan tokoh inspiratif ketika menjabat sebagai orang nomor satu di Solo.

"Bahwa pemohon juga memiliki pandangan tokoh yang inspiratif dalam pemerintahan di era sekarang yang juga menjabat sebagai Wali Kota Surakarta di masa periode 2020-2025," demikian bunyi gugatan tersebut saat dibacakan pada 5 September 2023 dikutip dari Kompas.com.

Sehingga, dengan landasan tersebut, pemohon menganggap sudah selayaknya Gibran bisa maju dalam kontestasi Pilpres.

Baca juga: Almas Sebut Inisiatif Sendiri Ajukan Gugatan ke MK, Akui Rasakan Dampak Positif Kepemimpinan Gibran

Hanya saja, potensi tersebut terhalang dengan syarat usia minimal capres-cawapres lantaran putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih berumur 35 tahun.

"Bahwa pemohon tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut tidak mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal."

"Hal tersebut sangat inkonstitusional karena sosok wali kota Surakarta tersebut mempunyai potensi yang besar dan bisa dengan pesat memajukan Kota Solo secara pertumbuhan ekonomi," demikian argumen dari Almas.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Fika Nurul Ulya)

Artikel lain terkait Pilpres 2024

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas