MKMK Kantongi Cukup Bukti, Pencawapresan Gibran Terancam Batal
Prof Dr M Fauzan SH MH menyebut MKMK bisa membatalkan Putusan MK nomor 90 tahun 2023.
Editor: Hendra Gunawan
Sejauh ini, MKMK telah memeriksa 6 hakim: Anwar Usman, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih kemarin, serta Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo.
Dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kamera Closed Circuit Television (CCTV) turut diperiksa.
Adapun tampilan CCTV itu berkaitan dengan proses penarikan pencabutan dan permohonan yang kemudian diajukan kembali oleh pemohon Almas Tsaqibbirru.
"CCTV yang berkaitan dengan penarikan permohonan dan pencabutan dan kemudian diajukan lagi. Kita periksa salahnya di mana kan belum tentu salah juga," ujar Jimly.
Almas merupakan pemohon yang mengaku merupakan fans dari Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Permohonan Almas dikabulkan oleh MK yang kemudian putusannya mereduksi syarat usia capres cawapres.
Sebelumnya Almas sempat mengajukan permohonan pencabutan gugatan. Permohonan pencabutan pun sudah diterima oleh MK. Namun kemudian Almas membatalkannya.
Ia menyatakan awalnya tidak tahu pencabutan itu. Ide itu dinyatakan berasal dari kuasa hukumnya. Anak Boyamin Saiman itu sempat disinggung oleh Ketua MK Anwar Usman tidak serius.
Surat KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengeluarkan surat dinas kepada partai politik (parpol) peserta pemilu. Surat dinas itu memerintahkan supaya parpol peserta memedomani Putusan MK Nomor 90 tahun 2023 soal usia capres-cawapres.
Surat itu diterbitkan KPU setelah putusan kontroversial soal usia capres cawapres terbit pada 16 Oktober 2023, 3 hari sebelum pendaftaran bakal peserta pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dibuka.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengatakan langkah KPU itu dinilai sudah cukup tanpa harus merevisi Peraturan KPU (PKPU) yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU).
"Seperti yang sudah dilakukan kemarin ini, Peraturan KPU-nya tetap, tapi dibaca dalam kaitan dengan Putusan MK. Itu yang sudah ada di surat edaran (KPU)," kata Jimly.
Menurut pakar hukum tata negara itu, tindak lanjut Putusan MK tanpa merevisi PKPU bukan kali pertama terjadi. Pada Pemilu 2019, MK mengabulkan sebagian gugatan aktivis prodemokrasi melalui Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019, agar surat keterangan (suket) perekaman KTP elektronik dapat dipakai untuk menggantikan KTP elektronik di TPS.
Putusan itu terbit 20 hari sebelum pemungutan suara pada 17 April 2019. "Karena tidak sempat, (KPU saat itu hanya menerbitkan) surat edaran saja (sebagai tindak lanjut) dan ini bisa. Jadi, artinya, membaca (surat) itu juncto Putusan MK. Tidak usah sulit-sulit lah hukum itu," ungkap Jimly.
Meski begitu, Jimly tidak menyalahkan langkah KPU RI yang belakangan mengubah sikap dan menempuh revisi atas Pasal 13 PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Pilpres.